1. Masa Demokrasi Liberal
Periode 1950 -1959
merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi
pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. Dua
partai terkuat pada masa itu (PNI dan Masyumi) silih berganti memimpin kabinet.
Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak
ada yang berumur panjang, sehingga masing-masing kabinet yang berkuasa tidak
dapat melaksanakan seluruh programnya. Keadaan ini menimbulkan ketidakstabilan dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pemah
berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda adalah sebagai berikut.
Kabinet Natsir (6
September 1950-21 Maret 1951). Setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat
(RIS) dibubarkan, kabinet pertama yang memerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin oleh Masyumi. PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih
kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasa
tidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya.
Kabinet Natsir mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi seperti Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh. Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro
Djojohadikusumo. Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
·
Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman.
·
Konsolidasi
dan menyempurnakan pemerintahan.
·
Menyempurnakan
organisasi angkatan perang.
·
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
· Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian
Barat
Pada masa pemerintahan dan kekuasaan
Kabinet Natsir terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis,
Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai
dirintis, namun mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak
percaya terhadap Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan
Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi.
Mosi itu disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh
kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir
mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April
1952). Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden
menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono
berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Namun usahanya itu
mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret - 18 April 1951).
Presiden kemudian menunjuk
Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun mengalami
sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi
antara Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu
dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet
Sukiman. Kabinet Sukiman memiliki program 7 pasal, dan di antaranya mirip
dengan program dari kabinet Natsir, hanya beberapa hal mengalami perubahan
dalam skala prioritas. Misalnya, mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban.
Usia kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet Natsir, karena pada masa kabinet
ini banyak menghadapi masalah-masalah seperti krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran
akan barang-barang mewah. Kabinet Sukiman juga memprogram-kan untuk merebut
kembali Irian Barat dari tangan Belanda, walaupun belum juga membawa hasil.
Kedudukan Kabinet Sukiman semakin
tidak stabil, karena hubungan dengan militer yang kurang baik, terutama
terlihat dari sikap pemerintah menghadapi pemberontakan yang terjadi di Jawa
Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang tegas. Selanjutnya
kedudukan Kabine Sukiman semakin bertambah goyah sebagai akibat terjadinya
pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Subardjo dengan Duta Besar Amerika
Serikat Merle Cochran mengenai bantuan ekonomi dan militer berdasarkan ikatan Mutual
Security Act (MSA) atau Undang-undang Kerja Sama Keamanan. Kerja sama itu
dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia,
karena Indonesia harus lebih memerhatikan kepentingan Amerika Serikat. Bahkan
lebih dari itu, Kabinet Sukiman dituduh telah memasukkan Indonesia ke dalam
Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya
Kabinet Sukiman pun menemui nasib yang sama, mengalami kejatuhan dan
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni
1953). Setelah Kabinet Sukiman jatuh, digantikan oleh Kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Wilopo sendiri adalah tokoh
PNI. Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari keenam
program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga
mem-programkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menciptakan keamanan
dalam negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada per-juangan pengembalian
Irian Barat serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Namun
demikian, kabinet Wilopo ini juga tidak luput dari masalah-masalah yang
menggoyahkan kedudukannya.
Masalah yang cukup berat dihadapi
oleh Kabinet Wilopo adalah masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa
17 Oktober 1952. Latar belakang peristiwa itu terkait dengan masalah
ekonomi, reorganisasi atau profesi-onalisasi tentara dan campur tangan parlemen
atas permasalahan militer.
Sementara itu, perkembangan ekonomi
dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil ekspor Indonesia. Penerimaan negara
menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang sulit dan upaya pembentukan
militer yang memenuhi standar profesional, maka anggota militer yang tidak
memenuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu dikembalikan kepada masyarakat.
Hal ini menimbulkan protes di kalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin
oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi
peng-gantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Tentu saja hal ini menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang
menjurus ke arah perpecahan.
Parlemen mengecam tindakan pemerintah,
khususnya Menteri Pertahanan dan Pimpinan Angkatan Perang dan Darat. Beberapa
anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mereka
menilai bahwa parlemen terlalu ikut campur dalam tubuh tentara. Bahkan pada
tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi rakyat terhadap presiden. Para
demonstran itu menuntut kepada presiden agar membubarkan parlemen serta meminta
presiden memimpin langsung pemerintahan sampai diselenggarakannya pemilu. Namun
presiden menolak, dengan alasan bahwa ia tidak mau menjadi diktator, tetapi
mungkin pula khawatir apabila tuntutan tentara dipenuhi ia akan ditunggangi
oleh mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya
muncul golongan yang anti Peristiwa 17 Oktober 1952 dari kalangan Angkatan
Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo dan
sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952
di antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari
jabatannya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun
Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi
berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Masalah lain yang menyebabkan
jatuhnya kabinet Wilopo adalah masa-lah tanah di Tanjung Morawa, satu kecamatan
di Sumatera Timur. Di keca-matan itu terdapat perkebunan asing, antara lain perkebunan kelapa
sawit, teh, dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB, para pengusaha asing itu
menuntut pengembalian lahan perkebunan mereka, padahal perkebunan itu telah
digarap oleh rakyat sejak zaman pendudukan Jepang. Ternyata pemerintah
menyetujui tuntutan dari para pengusaha asing itu dengan alasan akan
menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Di
sisi lain, rakyat tidak mau meninggal-kan tanah-tanah yang telah digarapnya
itu. Maka
pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Hal ini menimbulkan
protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tem-bakan oleh polisi,
sehingga jatuh korban di kalangan rakyat.
Peristiwa itu dijadikan sarana
oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela
pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya Kabinet
Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa
menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
Kabinet All Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12
Agustus 1955). Dua bulan setelah mundurnya Kabinet Wilopo terbentuk kabinet
baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI
dan NU, sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet Ali mempunyai program 4 pasal:
- Program
dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera
diselenggarakan pemilihan urnum.
- Pembebasan
Irian Barat secepatnya.
- Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik
bebas-aktif dan peninjauan kembali Persetujuan KMB.
- Penyelesaian
pertikaian politik.
Meskipun keamanan dan kemakmuran
menjadi program utama, realisasi-nya memang sangat sulit. Kabinet Ali juga
mendapatkan kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud
Beureueh yang menuntut Aceh sebagai provinsi dan meminta perhatian penuh atas
pem-bangunan daerah. Daud Beureueh menilai bahwa tuntutan itu diabaikan,
sehingga ia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Nil (Negara Islam Indonesia)
buatan Kartosuwiryo (September 1953). Usaha meningkatkan kemakmuran mengalami kegagalan
karena inflasi dan korupsi yang meningkat.
Kegagalan yang menyebabkan
jatuhnya Kabinet Ali adalah masalah Angkatan Darat. Setelah Peristiwa 17
Oktober, Nasution mengundurkan diri sebagai KSAD. la digantikan oleh Bambang
Sugeng. Sementara itu, perwira-perwira AD yang anti dan pro Peristiwa 17
Oktober berhasil memulihkan persatuan dan menandatangani Piagam Yogyakarta (25
Februari 1955). Oleh karena tugasnya dirasakan sangat berat, Bambang Sugeng
mohon berhenti dan dikabulkan oleh pemerintah. Kemudian pemerintah mengangkat
Bambang Utoyo sebagai KSAD baru. Akan tetapi Angkatan Darat yang berada di
bawah pejabat KSAD yang dikepalai oleh Zulkifli Lubis menolak. Ketika Bambang
Utoyo dilantik pada tanggal 27 Juni 1955, TNI-AD memboikot pengangkatan itu.
Bambang Utoyo adalah KSAD yang tidak pernah berkantor di Markas Besar Angkatan
Darat (MBAD).
Akibat peristiwa tersebut dan
berbagai kemelut yang lain, kabinet ini dinilai gagal. Banyak partai yang
menarik menterinya dari kabinet. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955, Ali
Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden (karena saat itu
presiden sedang menunaikan ibadah haji). Namun di balik kegagalan Kabinet Ali,
kabinet tersebut masih memiliki kesuksesan, di antaranya adalah menyiapkan
pemilihan umum dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret
1956). Kabinet Ali digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin
Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi. Hasil yang
menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk kali
pertama bagi bangsa Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 29 September 1955
untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante.
Peristiwa tanggal 27 Juni 1955 yang menjadi
penyebab kegagalan dari Kabinet Ali berhasil diselesaikan dengan mengembalikan
posisi Nasution sebagai KSAD. Prestasi lainnya yang dicapai oleh kabinet ini
adalah pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Setelah hasil-hasil pemilihan umum diketahui mengubah
susunan dan keseimbangan perwakilan di DPR, maka pada tanggal 3 Maret 1956
Kabinet Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet
Burhanuddin Harahap merupakan kabinet peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil
pemilihan umum.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 14
Maret 1957). Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet
baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet baru yang dibentuknya itu merupakan
kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU. Program pokok dan kabinet ini adalah sebagai
berikut.
· Pembatalan KMB.
· Perjuangan mengembalikan
Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
· Pemulihan keamanan dan
ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubungan, pendidikan
dan pertanian.
· Melaksanakan keputusan
Konferensi Asia-Afrika.
Kabinet Ali Sastroamidjojo
membatalkan seluruh Perjanjian KMB pada tanggal 3 Mei 1956. Upaya kabinet ini
untuk memperbaiki masalah ekonomi mengalami kesulitan, disusul oleh munculnya
gerakan separatisme di berbagai daerah yang dikenal dengan PRRI/Permesta.
Gerakan itu meng-anggap bahwa pemerintah pusat mengabaikan pembangunan
daerah-daerah. Mereka menuntut agar diadakan pergantian kabinet.
Dalam tubuh kabinet itu sendiri
terjadi perpecahan antara PNI dengan Masyumi. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan
daerah. Sedangkan Ali Sastroamidjojo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib
mengambalikan mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Pada bulan Januari 1957,
Masyumi menarik semua menterinya dari kabinet. Peristiwa itu sangat melemahkan
kedudukan kabinet Ali Sastroamidjojo, sehingga pada tanggal 14 Maret 1957 Ali
Sastroamidjojo akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden. Oleh karena
situasi negara yang kacau akibat terjadinya gerakan separatisme, dan konflik
dalam konstituante, maka presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya (14
Maret 1957).
Pertentangan politik semakin
meluas, sehingga pembentukan kabinet baru semakin bertambah sulit. Sementara
itu, partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-menawar kedudukan dalam
membentuk kabinet baru. Akhirnya atas dasar keadaan darurat itu, presiden menunjuk
dirinya sendiri menjadi pembentuk kabinet. Presiden berhasil membentuk kabinet
baru yang disebut dengan Kabinet Karya dan menunjuk Ir. Djuanda sebagai perdana
menteri.
Kabinet Karya (9 April 1957 - 10 Juli
1959) Kabinet Karya resmi dilantik pada tanggal 9 April 1957 dalam situasi
negara yang sangat memprihatinkan. Kabinet Karya merupakan zaken kabinet
(kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari
parlemen karena kondisi negara dalam keadaan darurat, tetapi lebih berdasarkan
keahlian.
Di bawah perdana menteri terdapat
tiga orang wakil perdana menteri, yaitu Hardi, Idham Chalid dan Leimena. Tugas
dari kabinet ini sangatlah berat terutama menghadapi pergolakan-pergolakan yang
terjadi di berbagai daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah Indonesia dan menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat
buruk. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kabinet Karya menyusun 5 pasal yang
disebut Pancakarya. Program-program dari kabinet ini di antaranya
sebagai berikut.
• Membentuk Dewan Nasional.
• Normalisasi keadaan republik.
• Melancarkan pelaksanaan pembatalan
persetujuan KMB.
• Memperjuangkan Irian Barat.
• Mempercepat proses pembangunan
Dewan Nasional merupakan suatu
badan baru yang bertujuan menam-pung dan menyalurkan aspirasi dari
kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat. Walaupun dewan ini telah
terbentuk, namun kesulitan-kesulit-an yang dihadapi oleh negara semakin meningkat.
Terjadinya pergolakan di daerah-daerah yang menyebabkan terganggunya hubungan
antara pusat dengan daerah masih terus berlangsung. Hal ini mengakibatkan
sistem perekonomian nasional semakin bertambah parah.
Dalam upaya menghadapi pergolakan
daerah, pemerintah menyeleng-garakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal
14 September 1957. Pada Munas itu dibahas masalah pembangunan nasional dan
daerah, pembangunan angkatan perang serta pembagian wilayah Republik Indonesia.
Ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah serta antar kelompok masyarakat
berhasil diatasi dengan baik. Sebagai upaya mewujudkan keputusan Munas, maka
pada bulan Desember 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Dalam Munap ini disusun rencana pembangunan yang dapat memenuhi
harapan daerah. Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan belum
dapat direalisasikan, karena muncul berbagai peristiwa nasional yang segera
harus ditangani oleh pemerintah. Peristiwa yang dimaksud itu adalah Peristiwa
percobaan pembunuhan atas diri Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957.
Peristiwa itu kemudian lebih dikenal dengan Peristiwa Cikini. Pelaku peristiwa
itu diduga para pemuda pendukung Zulkifli Lubis.
Persatuan nasional yang semakin
terancam, semakin diperburuk dengan munculnya Gerakan Perjuangan Menyelamatkan
Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 Februari 1958, yang diketuai oleh
Ahmad Husein dan mendapat dukungan dari Lubis, Simbolon, Dahlan Jambek, Natsir
dan Sumitro Djojohadikusumo. Bersamaan dengan berdirinya gerakan itu, mereka
mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang berisi tuntutan pem-bubaran
Kabinet Karya dan pembentukan kabinet baru yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu presiden diminta bertindak secara
konstitusional dan agar tuntutan itu dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Kabinet Karya mencatat prestasi
gemilang, yaitu keberhasilan mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia, dengan keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam
peraturan lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis
dasar sewaktu air surut. Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah
Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores dan lain
sebagainya. Melalui Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah
Indonesia, yaitu lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan
bulat.
2. Pemilihan Umum Tahun 1955
a. Latar Belakang Pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1955
Pemilihan umum merupakan salah
satu prasyarat agar sistem pemerintahan yang demokratis bisa berfungsi. Pemilihan umum
tercantum sebagai salah satu program dari kabinet parlementer Republik
Indonesia. Persiapan
mendasar pemilihan umum diselesaikan pada masa pemerintahan Kabinet
Ali-Wongso. Kabinet Ali-Wongso mempunyai agenda utama mempersiapkan pelaksanaan
pemilihan umum yang direncanakan akan berlangsung pertengahan tahun 1955.
Pada tanggal 31 Mei
1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat. Panitia ini diketuai oleh
Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa
pemilihan umum untuk Parlemen akan diselenggarakan tanggal 29 September 1955.
Pengumuman ini mendorong partai-partai politik untuk meningkatkan kampanyenya.
Mereka berkampanye sampai ke pelosok-pelosok desa. Sudut-sudut desa dan kota
dipenuhi dengan lambang-lambang partai. Masing-masing partai politik bersaing
memperoleh suara terbanyak. Kabinet Ali-Wongso berakhir pada tanggal 24 Juli
1955, sebelum pemilihan umum terlaksana.
b. Pelaksanaan Pemilihan Umum
tahun 1955
Setelah Kabinet Ali Wongso berakhir, Moh.
Hatta menunjuk Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk menyusun kabinet. Dalam
program kabinet Burhanuddin Harahap itu, masalah pemilihan umum menjadi masalah
khusus yang perlu mendapat perhatian serius. Bahkan, sesuai dengan rencana
semula, bahwa pemilihan untuk anggota parlemen diselenggarakan pada 29
September 1955 dan tanggal 15 Desember 1955 pemilihan untuk anggota
Konstituante.
Akhirnya pada tanggal 29 September 1955,
pemilihan umum dapat terlaksana. Lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan
hak suaranya di kota-kotak suara. Hasil dari pemilihan umum pertama itu,
ternyata dimenangkan oleh empat partai yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Adapun partai-partai
lainnya mendapatkan suara jauh lebih kecil dari keempat partai tersebut.
Kemudian pada tanggal 15 Desember 1955, diseleng-garakan pemilihan umum untuk
memilih anggota-anggota Konstituante. Suasana pemilihan konstituante ini lebih
tenang dibandingkan ketika pemilihan anggota DPR. Rupanya rakyat sudah lebih
berpengalaman, sehingga ketegangan dapat diatasi. Dengankeberhasilan
pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955, maka tugas kabinet Burhanuddin Harahap
dianggap selesai, dan perlu dibentuk kabinet baru yang akan bertanggung jawab
terhadap parlemen yang baru.
sangat membantu sekali... terima kasih..
BalasHapusterima kasih untuk referensinya.
BalasHapusterima kasih materinya
BalasHapusmudah dipahami
mungkin lebih baik jika di tambah penjelasannya lagi
DISURUH buat powerpoint dng materi " kabinett dulu smpai skrg " apa referensi ini benarr ?
BalasHapusterim
BalasHapusterlalu panjang
BalasHapus