Ketegangan-ketegangan politik
yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu.
Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal
mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun
konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang
mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno.
a. Konstituante Gagal Menyusun
Undang Undang Dasar Baru
Hasil pemilihan umum memunculkan
NU dan PKI sebagai partai besar di samping PNI dan Masyumi. Setelah pemilihan
umum itu dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal 24 Maret 1956
berdasarkan perimbangan partai-partai di dalam pariemen. Kabinet ini juga tidak
lama bertahan, karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan
alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan di daerah.
Pada bulan Februari 1957,
Presiden Soekamo memanggil semua pejabat sipil dan militer beserta semua
pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu untuk pertama
kalinya Presiden Soekarno mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain sebagai
berikut.
- Dibentuk
Kabinet Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai ditambah
dengan golongan fungsional.
- Dibentuk
Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung).
Anggota-anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam
masyarakat. Fungsi dewan ini adalah member! nasehat kepada kabinet baik
diminta maupun tidak.
Konsepsi itu ditolak oleh
beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI. Mereka
berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams
diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam
peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa
segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak
partai politik, sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena
itu, ada baiknya parta-partai politik dibubarkan.
Kemudian, dengan alasan
menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi dengan nama Demokrasi
Terpimpin. Konsepsi Presiden itu mendapat tantangan yang hebat. Untuk
sementara waktu, masalah politik dan perdebatan Konsepsi Presiden menjadi beku,
karena perhatian masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan pem-berontakan
FRRI-Permesta. Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah politik
muncul kembali. Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami
kemacetan dalam menetapkan dasar negara. Kemacetan itu teriadi karena
masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa
mengutamakan atau mendahulukan kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi oleh konstituante adalah
tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan
dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar
negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar
negara.
Dalam upaya mengatasi kemacetan
konstituante, muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI.
Dengan kembali ke UUD 1945, maka berbagai kekalutan politik dapat diselesaikan
dengan dasar yang kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan yang stabil,
masalah dasar negara teratasi, semangat '45 dapat dipulihkan, sehingga
persatuan dapat dipulihkan juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan
dukungan terhadap gagasan tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan
kembali ke UUD 1945 pada tanggal 19 Februari 1959.
Pada tanggal 22 April 1959,
Presiden Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante
menetapkan UUD 1945 menjadi konsdtusi Negara Republik Indonesia. Menanggapi
anjuran pemerintah itu dan sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante
dapat menentukan sikap atau melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara
dilaksanakan riga kali dan hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak
dari suara yang menolak kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu
kurang dari dua pertiga. Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum.
Keadaan politik masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil
keputusan itu menunjukkan bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir
masih tetap mengabdi kepada kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa
selama tiga tahun konstituante ti-iak mampu mengambil keputusan untuk
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950.
Dengan kegagalan konstituante
mengambil suatu keputusan, maka sebagian anggotanya menyatakan tidak akan
menghadiri sidang konstituante lagi. Sementara itu sejak tanggal 3 Juni 1959,
konstituante memasuki masa reses dan ternyata merupakan resesnya yang terakhir.
Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat dengan peraturan Nomor :
PRT/PEPERPU/040/1959 melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI
mendukung usul supaya UUD 1945 diberlakukan kembali.
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sampai tahun 1959 Konstituante
tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin
mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing
partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan
partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi
politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah
kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia.
Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan
keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di
Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah.
mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang
Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk
melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru,
menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang
Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil
dibuat, sedang-kan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan
demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat
Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari
1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi
Presiden.
Dalam situasi dan
kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada
Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah
terbaik untuk mewujud-kan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu,
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi
sebagai berikut: (1) Pembubaran
Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS
1950, (3) Pembentukkan
MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari
masyarakat Indonesia. KSAD langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh
anggota TNI untuk mengamankan Dekrit Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan
keberadaan Dekrit itu. DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 juga menyatakan
kesediaannya untuk terus bekerja berdasarkan UUD 1945.
c. Pengaruh Dekrit Presiden
Tindakan yang dilakukan oleh
Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya hilang,
karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD
1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya
menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari
masalah-masalah berikut ini,
Kedudukan
Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan
tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa
yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari tindakan
presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri
III dan mengangkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan
partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing
diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Pembentukan MPRS Presiden
Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959.
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu bertentangan dengan UUD
1945, karena dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR
sebagai lembaga tertinggi negara hams melalui pemilihan umum, sehingga
partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang duduk
di MPR.
Manifesto Politik Republik
Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan
Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar
Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan
Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian
Indonesia).
Pembubaran DPR hasil pemilu dan
pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan
fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari
penolakan itu, DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan
DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini
bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat
membubarkan DPR.
Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki
oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai
ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis,
agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam pidato Presiden
Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan
tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat
Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk
menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga
negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan
Presiden No. 13 tahun 1959.
Masuknya pengaruh PKI Konsep
Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan
pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser
kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya
adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 digantikan menjadi
komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan
yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi sistem Demokrasi
Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden
Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) mendapat
dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI
berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan
menjadi lemah terhadap TNI.
Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar
negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu
diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis,
seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh
pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old
Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru
yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk
Indonesia dan negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan
kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni
negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Bentuk perwujudan poros
anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi
- Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum
internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain
itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia
yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya
sebagai berikut.
• Perhebat
Ketahanan Revolusi Indonesia.
• Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk
membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan
Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin Marsekal Omar
Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke Malaysia
Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada
masalah dalam negeri Malaysia.
d. Kehidupan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai tindak
lanjut Dekrit Presiden adalah penataan kehidupan politik sesuai
ketentuan-ketentuan demokrasi terpimpin. Selain dibentuk kabinet kerja, juga
dibentuk lembaga-lembaga negara seperti MPRS, DPR-GR dan Front Nasional.
Keanggotaan umum lembaga itu disusun berdasarkan komposisi gotong-royong
sebagai perwujudan dari demokrasi terpimpin.
TNI dan POLRI
disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri
atas empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan
Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang
Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden
/Panglima Tertinggi ABRI. Golongan ABRI diakui sebagai salah satu golongan
fungsional dan menjadi salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian,
ABRI dapat memainkan peranannya sebagai salah satu kekuatan sosial politik.
Berdasarkan
Penpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, kehidupan partai politik
ditata dengan menetapkan syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh partai politik.
Partai politik yang tidak memenuhi syarat dihapuskan, misalnya jumlah
anggotanya terlalu sedikit. Dengan dikeluarkannya Penpres itu, partai politik
yang masih dapat bertahan antara lain PNI, Partai Masyumi, Partai NU, PKI,
Partai Katolik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai
Perti. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah lebih dikenal dengan tindakan
penyederhanaan kepartaian. Sementara itu, sejumlah tokoh dari Partai Masyumi
dan PSI terlibat dalam gerakan PRRI-Permesta, sehingga kedua partai ini
dibubarkan oleh pemerintah.
Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik
yang ada pada waktu itu adalah presiden dan ABRI serta partai-partai, terutama
PKI. Presiden Soekamo dalam politiknya selalu berusaha untuk menjaga
keseimbangan (balance of power) dalam tubuh ABRI dan juga antara ABRI
dengan partai politik. Untuk menjaga keseimbangan itu, Presiden Soekarno memerlukan dukungan dari
PKI. Namun, PKI hanya mengutamakan kepentingannya sendiri agar dapat memainkan
perannya yang dominan di bidang politik. Dominasi PKI itu diperoleh dengan
mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno.
Sementara itu, tuduhan terhadap
PKI yang bersifat internasional (kurang nasional) dan anti agama dijawab bahwa
PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya mencakup Pancasila.
Ajakan Presiden Soekarno supaya jangan komunistophobi (takut terhadap
komunis) sangat menguntung-kan PKI dan menjadikan PKI aman. PKI mendapat
keuntungan dan perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.
Dalam rangka mewujudkan
sosialisme (dan kelak komunisme) di Indonesia, PKI menempuh tindakan-tindakan
sebagai berikut.
a) Dalam Negeri; berusaha
menyusup ke partai-partai politik atau organisasi massa (ormas) yang menjadi
lawannya, kemudian memecah belah. Di bidang pendidikan mengusahakan agar
marxisme-leninisme menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Di bidang militer
mencoba meng-indoktrinasi para perwira dengan ajaran komunis dan membina
sel-sel di kalangan ABRI.
b) Luar Negeri; berusaha
mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif menjadi politik yang
menjurus ke negara-negara komunis.
PKI dicurigai mempunyai keinginan
untuk merebut kekuasaan pemerintahan. Kecurigaan ini berdasarkan pengalaman
masa lalu, yaitu pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pada tahun 1964,
ditemukan dokumen yang memuat rencana PKI merebut kekuasaan. PKI menyatakan
bahwa dokumen itu palsu. Berkat perlindungan Presiden Soekarno dan dominasi di
bidang politik, tidak ada tindakan lebih lanjut atas tuduhan itu. D.N. Aidit
(Ketua PKI) di hadapan peserta kursus Kader Revolusi menyatakan bahwa Pancasila
hanya merupakan alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak
diperlukan lagi. Pemyataan ini tidak mendapat tindakan dan peringatan dari Presiden Soekamo,
sehingga PKI dapat melakukan intimidasi dan teror politik di segala
bidang. -
Pada bidang kebudayaan dan pers,
PKI memengaruhi Presiden Soekarno untuk melarang Manifesto Kebudayaan
(Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya keduanya
didukung dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Sebenarnya yang ditentang PKI
bukan manifesto kebudayaan, tetapi terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama
Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). PKI juga berhasil memengaruhi
Antara (Kantor berita) dan RRI.
Di bidang kepartaian, PKI
berhasil menfitnah Partai Murba, sehingga partai itu dibubarkan oleh Presiden
Soekarno. PKI juga mengadakan penyusupan ke partai-partai lain. PNI yang
dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jenderal Surachman sebagai
sekretaris jenderalnya disusupi PKI. Besarnya pengaruh PKI pada PNI (Ali -
Surachman) menyebabkan marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan
di Indonesia. Tokoh-tokoh marhaenisme sejati seperti Osa Maliki dipecat dari keanggotaan
partai. Golongan Osa Maliki membentuk pengurus tandingan, sehingga terbentuklah
PNI Osa-Usep (Ketuanya Osa Maliki dan sekretaris jenderalnya Usep Ranuwijaya).
Dengan demikian, PNI pecah menjadi dua.
Pada bidang agraria dan
pertanian, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI) berhasil
mengacaukan pelaksanaan landreform di beberapa tempat dan melakukan aksi
sepihak dalam bentuk penyerobotan tanah, seperti di Klaten, Boyolali, Kediri
(Peristiwa Jengkol), dan Sumatera Utara (Peristiwa Bandar Betsy). Aksi sepihak
itu bertujuan untuk mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui
reaksi dan tindakan yang akan dilakukan oleh pihak ABRI.
Dalam usaha memengaruhi ABRI, PKI
mempergunakan jalur resmi dan jalur tidak resmi. Jalur resmi adalah Komisaris
Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur
tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai oleh Kamaruzaman (Syam).
Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri atas PNI dan
NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu
menanggulangi pengaruh PKI, bahkan dapat menjadi penghalang bagi PKI dalam
usahanya membentuk negara komunis. Oleh karena itu, pada peristiwa Gerakan 30
September, yang dijadikan sasaran PKI adalah ABRI, khususnya angkatan darat.
Republik Rakyat Cina (RRC)
menyarankan agar Presiden Soekarno membentuk Angkatan Kelima untuk melengkapi
empat angkatan yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk memperkuat kedudukan PKI.
Presiden Soekarno tidak setuju dengan pembentukan angkatan kelima, dan dengan
tegas ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI menganjurkan agar
dibentuk Kabinet Nasakom. Namun, anjuran itu hanya membawa hasil sedikit, yaitu
dengan diangkatnya beberapa tokoh PKI, seperti D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan
Nyoto menjadi Menteri Negara.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusharam......
BalasHapusIni tentang apa sih ?
BalasHapussistem demokrasi ato ke komunisme ?
saya rasa kurang objektif deh
AHHAHAHAHAHA acii kakk
BalasHapusTerimakasih informasinya :)
BalasHapusLanjutkan mas sejarahnya hingga keruntuha orde lama, ini bagus..
BalasHapusMinta dicantumkan sumbernya juga ya mas.
pak, tolong kasih source nya donk, biar bisa diakses, buku ato link gitu
BalasHapustq
BalasHapusNice info
BalasHapusSumber gak jelas
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmkasih infonya,jangan lupa berkunjung keblog saya https://belajartecnologi.blogspot.co.id/
BalasHapusSejarah Indonesia (1959-1966) adalah masa di mana sistem "Demokrasi Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
BalasHapusYUNIKA CAHAYA NINGRUM LESTARI
BalasHapusblog ini sangat membantu siswa/i untuk memahami materi
Terimakasih infonya mantap pak
BalasHapusTerimakasih banyak pak infonya mantap
BalasHapusRatih Novalia
XII MIPA 2
No.absen: 22