Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi
Parlementer (1950-1959)
1.
Sistem
Pemerintahan
Bangsa
kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan
tahun 1950-an telah menjalankan dua sistem
pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer.
Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial
digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan
pembentukan kabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir
sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di
Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti
dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan
sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga
pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD
Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan,
UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD
1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun
menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD
Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya, kabinet disusun menurut
perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat
dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi
Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem
kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet.
Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah
sering terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering terjadi pergantian kabinet?
Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan di antara
partai-partai yang ada. Perbedaan di antara partai-partai tersebut tidak pernah
dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959
terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951;
Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957; dan Kabinet Djuanda
(Zaken Kabinet) 1957-1959.
Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan
kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula Masyumi diberi kesempatan untuk
memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum 1955.
Namun PNI pun tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah pimpinan
Ir. Djuanda.
Kabinet-kabinet tersebut pada
umumnya memiliki program yang tujuannya sama, yaitu masalah keamanan,
kemakmuran, dan masalah Irian Barat (saat ini Papua dan Papua Barat). Namun,
setiap kabinet memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi
menekankan pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang
dipimpin oleh PNI sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang
menguntungkan perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri.
Apabila kita teliti
kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak hal-hal yang menarik.
Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya,
Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai
agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang
besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang
diinginkan, terutama kesulitan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet.
Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan
PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.
Latar belakang masalah dalam
pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang menyebabkan goyah dan
jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan
pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan kritik terhadap jalannya
pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI
yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 39. tahun 1950
tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-lembaga perwakilan
daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950
oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat
demokratis karena dalam PP. No. 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan
secara bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo
mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan menteri dalam negeri
mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan kabinet dengan parlemen
tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada
Soekarno pada 21 Maret 1951.
Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat
Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk
memilih tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada
tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan
PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya,
sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI.
Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk
dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing,
meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan
benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri
Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan
DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain
itu, Iskaq juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan
Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konflik
kepentingan.
Kebijakan lain yang menimbulkan
masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri
Kehakiman, Muhammad
Yamin, membebaskan 950 orang
tahanan SOB (Staat van Oorlog en Beleg,
negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan perdana menteri dan
anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman
dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya
sebagai menteri kehakiman.
Kondisi Kabinet Sukiman semakin
terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi
ini berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad
Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari
nota jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan
bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota menteri luar negeri ini memiliki
kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap
sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan
Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang
dari asas politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh
pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului
pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun
kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.
Kalau dibandingkan dengan Kabinet
Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan bahwa partai-partailah yang
memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi
personalia, pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah
sepenuhnya terletak di tangan partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu belum
nampak menonjolkan ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan pada
pemecahan masalah-masalah praktis yang dihadapi.
Kemudian Presiden Soekarno
memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet
Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas
dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII
dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh
dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam
kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan Parindra dalam
pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi
oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan
Partai-partai (PKI, PSII, Perti,
Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia, PRN, Parindra,
Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional) kehilangan artinya dan
menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan adanya hubungan
politik baru ini, praktis berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi
pada masa pemerintahan Kabinet Sukiman. Kabinet ini memiliki tugas pokok menjalankan persiapan pemilihan umum
untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante. Namun sebelum tugas
ini dapat diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan jabatannya. Faktor yang
menyebabkannya antara lain peristiwa 17 Oktober 1952.
Pada saat itu ada desakan dari
pihak tertentu agar Presiden Soekarno segera membubarkan Parlemen yang tidak
lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh golongan
tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini tidak
menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD. Pihak-pihak tertentu dalam parlemen
menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan dalam pimpinan Kementrian
Pertahanan dan TNI. Ini dianggap oleh pimpinan TNI
sebagai campur tangan sipil dalam urusan militer. Setelah itu pimpinan TNI
menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden menolak tuntutan ini,
sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.
Keberlangsungan Kabinet Wilopo
semakin terancam ketika terjadi peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa ini terkait
dengan pembebasan tanah milik Deli
Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk,
kemudian diminta untuk dikembalikan kepada DPV. Usaha pembebasan tanah ini
mendapat perlawanan dari penduduk. Karena menghadapi hambatan, pemerintah
kemudian menggunakan alat-alat kekuasaan negara untuk memindahkan penduduk dari
lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur, tanah garapan tersebut
kemudian ditraktor oleh polisi yang kemudian mendapatkan perlawanan dari petani
yang mengakibatkan insiden yang menelan korban meninggalnya 5 orang petani.
Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut kepada pemerintah agar
menghentikan sama sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV
sesuai dengan keputusan Pemerintahan Sukiman
dan semua tahanan yang terkait dengan peristiwa Tanjung Morawa segera
dibebaskan. Desakan-desakan ini akhirnya membuat Kabinet Wilopo jatuh.
Jatuhnya Kabinet Wilopo membuat Presiden
Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI
mengalamai kegagalan. Presiden menetapkan Wongsonegoro dari Partai Indonesia
Raya (PIR) dan Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo
sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini bertujuan melanjutkan tugas Kabinet
Wilopo, menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen dan
Anggota Dewan Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik luar
negeri, yaitu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955, namun
harus meletakkan jabatannya sebelum tugas utamanya dapat dilaksanakan. Faktor
utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah masalah pimpinan TNI-AD yang
berpangkal pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan
kabinet ini ditolak oleh korps perwira, kelompok Zulkifli Lubis, sehingga
timbul krisis kabinet. Menghadapi persoalan dalam tubuh TNI-AD, Parlemen
mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan. Sebagai dampak dari
mosi tersebut, fraksi progresif dalam Parlemen menarik Mr. Iwa Kusumasumantri
dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12 Juli 1955. Tidak lama
berselang setelah itu, kabinet akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada 24 Juli 1955.
Setelah Kabinet Ali
Sastroamidjojo I dinyatakan demisioner, Mohamad Hatta selaku pejabat Presiden, Presiden
Soekarno sedang menunaikan ibadah haji, segera mengadakan pertemuan dengan
pimpinan partai untuk menentukan formatur kabinet. Formatur kabinet mempunyai
tugas pokok membentuk kabinet dengan dukungan yang cukup dari parlemen yang
terdiri atas orang-orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini kemudian
berhasil dipenuhi oleh Burhanuddin Harahap selaku formatur yang ditunjuk oleh
Hatta. Pada tanggal 11 Agustus 1955, Kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin
Harahap diumumkan.
Kabinet Burhanuddin Harahap
mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut
berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat.
Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen
berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada
15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan tugasnya Kabinet Burhanuddin meletakkan
jabatannya. Kemudian dibentuk suatu kabinet baru berdasarkan kekuatan partai
politik yang ada dalam parlemen baru hasil pemilihan umum.
Selain
masalah pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil menyelesaikan permasalahan
dalam tubuh TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD
pada Oktober 1955. Program lainnya yang berusaha dilaksanakan pada masa kabinet
ini adalah masalah politik luar negeri dan perundingan masalah Irian Barat.
Perkembangan politik pasca
Pemilihan Umum 1955 memperlihatkan tanda renggangnya dwi tunggal
Soekarno-Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955, Hatta mengundurkan diri dari
jabatan sebagai wakil presiden. Pengunduran diri Hatta ini merupakan reaksi
politis atas ketidakcocokan Hatta terhadap pernyataan yang dikeluarkan Presiden
Soekarno. Dalam salah satu pidatonya Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia akan
sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan
bersama untuk mengubur partai-partai.
Hatta sebagai seorang demokrat
masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai. Perbedaan
antara Soekarno dan Hatta tidak hanya muncul pada tahun 1950-an, namun sejak
masa pergerakan nasional pun kedua tokoh ini telah terjadi perbedaan pemikiran.
Masa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan perjuangan revolusi membawa
kedua tokoh ini melupakan perbedaan yang ada sehingga disebut dwi tunggal.
Namun, setelah tahun 1950-an tampak perbedaan menyangkut masalah demokrasi
telah memecahkan mitos dwi tunggal. Sistem demokrasi konstitusional sangat
didambakan Hatta sedangkan Soekarno menganggap sistem tersebut tidak cocok
untuk bangsa Indonesia.
Soekarno yakin bahwa gerakan
komunisme bisa dikendalikan, sedangkan Mohamad Hatta sangat menentang gerakan komunisme
dan menganggapnya sebagai bahaya laten yang harus dilenyapkan.
Pergolakan politik dan keadaan
keamanan yang semakin memburuk telah mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi
Presiden pada tanggal 21 Februari 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno
mengambil alih pemerintahan dan mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin,
suatu konsep demokrasi yang sangat diidamkan oleh Soekarno namun sangat
ditentang oleh Hatta. Sikap Hatta ini diungkapkannya dalam tulisannya
“Demokrasi Kita”. Hatta menuliskan bahwa “bagi saya yang lama bertengkar dengan
Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien ada baiknya
diberikan kesempatan yang sama dalam waktu yang layak apakah sistem itu akan
menjadi suatu sukses atau kegagalan”.
Penunjukkan tim formatur untuk
membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 agar berbeda dengan sebelumnya.
Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang pemilu
sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang
ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet mengajukan Ali Sastroamidjojo dan
Wilopo calon formatur kabinet. Presiden Soekarno kemudian memilih Ali
Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU.
Dalam pembentukan kabinet tidak ada kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang
terbentuk memunculkan pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat
pemilu tidak disertakan. Hal ini karena Masyumi menolak masuknya PKI dalam
kabinet. Pada waktu formatur menyerahkan susunan kabinet kepada Presiden
Soekarno untuk disetujui, Presiden tidak langsung menyetujui. Ia kecewa dengan
susunan kabinet yang akan dibentuk yang tidak melibatkan PKI. Presiden
menghendaki masuknya PKI dalam kabinet. Namun kehendak Presiden tidak bisa
diterima oleh formatur karena susunan kabinet yang dibentuk merupakan hasil
persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi.
Menyikapi hal tersebut, Presiden
Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai PNI, Masyumi, NU dan PSII
agar mau menerima wakil PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam kabinet.
Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh
dari ketiga partai tersebut. presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan
kabinet yang telah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda
dalam kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam
dengan Ali Sastroamidjojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal sebagai
Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama yang
memiliki Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya mencakup masalah Irian
Barat, masalah otonomi daerah, masalah perbaikan nasib buruh, penyehatan
keuangan dan pembentukan ekonomi keuangan.
Dalam menjalankan programnya
Kabinet Ali II muncul berbagai peristiwa-peristiwa baru antara lain gagal
memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat yang akhirnya membatalkan
perjanjian KMB. Munculnya masalah anti Cina di antara kalangan rakyat yang
kurang senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Selain
itu, mulai meningkatnya sikap kritis daerah terhadap pusat. Kondisi ini
mendorong lemahnya
Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan hasil
pemilihan umum pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan Kabinet
Ali Sastroamidjojo semakin turun. Kurangnya tindakan tegas dari kabinet
terhadap pergolakan yang muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) dan Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan
kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid, namun tidak berhasil. Ali akhirnya
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957.
Demisionernya Kabinet Ali II dan
munculnya gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah membuat Presiden Soekarno
mengumumkan berlakunya undang-undang negara dalam keadaan darurat perang atau State van Oorlog en Beleg (SOB) di seluruh Indonesia. Keadaan ini membuat angkatan
perang mempunyai wewenang khusus
untuk mengamankan negara.
Menyikapi situasi jatuh bangunnya
kabinet, Soekarno melalui amanat proklamasi 17 Agustus 1957 menyatakan bahwa:
“Sistem politik yang terbaik dan
tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Ya, nyata
demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktikan di Indonesia, bukan satu
sistem politik terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan dengan demokrasi itu, tidak
menjadi makin kuat dan makin sentosa, melainkan menjadi makin rusak dan makin
retak, makin bubrah dan makin bejat. (Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi III,
1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986).
Untuk mewujudkan keinginan
tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengundang ke Istana
Negara para tokoh partai dari tingkat daerah hingga pusat, dan tokoh militer
untuk mendengarkan pidatonya yang dikenal dengan Konsepsi Presiden. Konsepsi
tersebut bertujuan untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet
yang sering dihadapi dengan dibentuknya kabinet yang anggotanya terdiri atas 4
partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya dari
golongan fungsional dalam masyarakat. Sayangnya gagasan ini dikeluarkan tanpa
terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada kabinet yang tengah mengalami masalah
yang cukup berat.
Presiden Soekarno menyatakan
bahwa Demokrasi Liberal yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia, dan merupakan demokrasi impor. Ia ingin menggantinya dengan
demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang disebutnya
dengan Demokrasi Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan yang cukup
sengit baik di parlemen maupun di luar parlemen.
Usaha
Presiden Soekarno untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet
berkaki empat akhirnya gagal. Kaum politisi dan partai-partai tetap mau
melakukan politik “dagang sapi”, yaitu tawar menawar kedudukan untuk membentuk
kabinet koalisi. Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur
untuk membentuk kabinet ekstraparlementer yang akan bertindak tegas dan yang
akan membantu Dewan Nasional sesuai Konsepsi Presiden. Soekarno berhasil
membentuk Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai
Perdana Menteri dengan tiga wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU,
dan Parkindo. Kabinet ini resmi dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal dengan
nama Kabinet Karya. Kabinet ini tidak menyertakan Masyumi di dalamnya.
Kabinet Djuanda merupakan Zaken Kabinet dengan beban tugas yang
harus dijalankan adalah perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi
keadaan ekonomi dan keuangan yang memburuk. Kabinet Djuanda untuk menyelesaikan
tugasnya menyusun program kerja yang terdiri dari lima pasal yang dikenal
dengan Panca Karya, sehingga kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya.
Kelima program tersebut meliputi:
1. Membentuk
Dewan Nasional
2. Normalisasi
keadaan Republik Indonesia
3. Melanjutkan
pembatalan KMB
4. Memperjuangkan
Irian Barat kembali ke RI
5. Mempercepat
pembangunan
Dewan Nasional merupakan amanat
dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan
menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan
juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan
menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini
dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari
golongan fungsional.
Untuk menormalisasi keadaan yang
diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957
melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
nasional dan daerah, di antaranya adalah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56.
Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan pemerintahan, persoalan
daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta masalah dwitunggal
Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian. Pada akhir acara
Munas dibacakan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh Soekarno Hatta yang
bunyinya antara lain bahwa:
“...
adalah kewajiban mutlak kami untuk turut serta dengan seluruh rakyat Indonesia,
pemerintah RI serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela
dasar-dasar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga
adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Dep.Kominfo, 2005)
Untuk menindaklanjuti hasil
Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat pembangunan dilaksanakan Musyawarah
Nasional Pembangunan. Musyawarah ini bertujuan khusus untuk membahas dan
merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah. Oleh karena
itu, kegiatan ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh pusat dan daerah serta semua
pemimpin militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol. Achmad Husein dari
Komando Militer Sumatera Tengah.
Perlu kalian ketahui bahwa pada
masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia tidak seluas wilayah
Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial
terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang
dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil
diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian
pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut,
Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan tidak tidak cukup
menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari
daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di
Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan
tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan
pengawasan wilayah Indonesia.
Sebagai suatu negara yang
berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan
yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik
Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda
mendeklarasikan hukum teritorial kelautan Nusantara yang berbunyi:
Segala perairan di sekitar,
di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik
Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal
asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006)
Dari deklarasi tersebut dapat
kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan
dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah
mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi
Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam
dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi Djuanda mengandung
konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan
pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai
alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional. Deklarasi Djuanda
membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi
12 mil dari batas pulau terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin
menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa
memasukkan wilayah Irian Barat, karena wilayah itu belum diakui secara
internasional. Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang
menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun
Deklarasi Djuanda belum memperoleh pengakuan internasional, pemerintah RI
kemudian menetapkan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia.
Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda
membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut
Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini,
pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara
tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui Konferensi Jenewa pada tahun 1958,
berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda dan
memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic
State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa
diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut
PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya
dalam
Undang-undang No.17/ 1985 tentang
pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah
diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November
1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh
dunia internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi
kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia
mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari
tahun 1970-an hingga tahun 1990-an.
Pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai Hari Nusantara dan
ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan Keputusan Presiden No. 126/2001
tentang Hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
Partai politik merupakan suatu
kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,
dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh,
merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya
partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan.
Pasca-proklamasi kemerdekaan,
pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi sebagai
perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal
ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi
politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus
1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia
sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat
diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah
mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Melalui maklumat
inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan
berhasil membentuk partai-partai politik baru. Di antara partai-partai tersebut
tergambar dalam bagan berikut ini:
Nama Partai
|
Pimpinan
|
Tanggal Berdiri
|
|
|
|
|
|
Majelis Syuro Muslimin
|
Dr. Sukirman
|
7 November 1945
|
|
Indonesia (Masyumi)
|
Wiryosanjoyo
|
||
|
|||
Partai Nasional Indonesia (PNI)
|
Sidik Joyosukarto
|
29 Januari 1945
|
|
|
|
|
|
Partai Sosialis Indonesia
(PSI)
|
Amir Syarifuddin
|
20 November 1945
|
|
|
|
|
|
Partai Komunis Indonesia (PKI)
|
Mr. Moh. Yusuf
|
7 November 1945
|
|
|
|
|
|
Partai Buruh Indonesia (PBI)
|
Nyono
|
8 November 1945
|
|
|
|
|
|
Partai Rakyat Jelata (PRJ)
|
Sutan Dewanis
|
8 November 1945
|
|
|
|
|
|
Partai Kristen Indonesia
|
Ds. Probowinoto
|
10 November 1945
|
|
(Parkindo)
|
|||
|
|
||
|
|
|
|
Partai Rakyat Sosialis (PRS)
|
Sutan Syahrir
|
20 November 1945
|
|
|
|
|
|
Persatuan Marhaen Indonesia
|
J.B. Assa
|
17 Desember 1945
|
|
(Permai)
|
|||
|
|
||
Partai Katholik Republik
|
I.J. Kassimo
|
8 Desember 1945
|
|
Indonesia (PKRI)
|
|||
|
|
Sumber: (Wilopo, 1978 dan dari sumber lainnya)
Sistem kepartaian yang dianut
pada masa Demokrasi Liberal adalah multi partai. Pembentukan partai politik ini
menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih
lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan
untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah
meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun
pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan
kepentingan golongan daripada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang
ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan.
Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak
memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang
sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang
menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak
berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang
politik, sosial ekonomi maupun keamanan.
Kondisi inilah yang mendorong
Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia
yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem Demokrasi Liberal menuju Demokrasi
Terpimpin.
3. Pemilihan
Umum 1955
Pelaksanaan pemilihan umum 1955
bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Parlemen dan
Dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang
ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah
dirancang sejak Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954.
Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa Kabinet Ali I karena
terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan
umum, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap.
Pelaksanaan Pemilihan Umum
pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139
kecamatan, dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2
tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan pada 29
September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante (badan
pembuat Undang-Undang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu
pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.
Pemilihan Umum 1955 merupakan
tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan
umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat
telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak
kalangan yang menilai bahwa Pemilihan Umum 1955 merupakan pemilu yang paling
demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.
Presiden Soekarno dalam pidatonya
di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan
umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah
rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi,
rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat
suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula.
Dalam proses Pemilihan Umum 1955
terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-calonnya untuk
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan
Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut
dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60%
penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang
cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)
Pemilihan umum untuk anggota DPR
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret
1956. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan
PKI. Empat perolehan suara terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut:
PNI
|
57
kursi
|
|
|
Masyumi
|
57
kursi
|
|
|
Nahdatul Ulama
|
45
kursi
|
|
|
PKI
|
39
kursi
|
|
|
Pemilihan Umum 1955 menghasilkan
susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada
tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri
oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet
Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa
tugas DPR yang lama dan penunjukan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah
suara terbanyak di DPR.
Pemilihan Umum 1955 selain
memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan Konstituate. Pemilihan Umum
anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Dewan
Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk
menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum
dalam pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan
tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan suara
partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya
tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar partainya
adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.
PNI
|
119 kursi
|
|
|
Masyumi
|
112 kursi
|
|
|
Nahdatul Ulama
|
91 kursi
|
|
|
PKI
|
80 kursi
|
|
|
Keanggotaaan Dewan Konstituante
terdiri atas anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat oleh pemerintah.
Pemeritah mengangkat anggota Konstituante jika ada golongan penduduk minoritas
yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah yang
ditetapkan dalam UUDS 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi
minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi
dan golongan Arab 6 kursi.
Dalam sidang-sidang Dewan
Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga Dekret Presiden 5 Juli
1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUDS 1950. Dewan memang
berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan
masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan
yang mendasar di antara usulan dasar negara yang ada.
Pembahasan mengenai dasar negara
mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik ideologis antarpartai. Dalam
sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan dasar negara yang diusung oleh
partai-partai; pertama, dasar negara Pancasila diusung
antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki; kedua, dasar negara
Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; ketiga, dasar negara
sosial ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga usulan
dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan Islam
karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi, hanya
sembilan suara.
Dalam upaya untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar negara, kelompok Islam
mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan dimasukannya
nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22
Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini
ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya untuk mencapai kesepakatan di
antara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua kelompok ini semakin
tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan
pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno
dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke
UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan
maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.
Menyikapi usulan Presiden, Dewan
Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk pemandangan umum. Dalam
sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil
mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga
kali diadakan pemungutan suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua
sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dandisusul dengan masa reses (masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa
sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. Kondisi
inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat
genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku
Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan
sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang sementara semua kegiatan
politik dan menunda semua sidang Dewan Konstituante.
Presiden Soekarno mencoba mencari
jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan mengadakan
pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah
Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari
pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan
Dekret Presiden 1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekret Presiden tersebut
adalah membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945
dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950. Dekret juga menyebutkan
akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
1. Pemikiran
Ekonomi Nasional
Pemikiran ekonomi pada 1950-an
pada umumnya merupakan upaya mengubah struktur perekonomian kolonial menjadi
perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut
adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama. Warisan
ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh
perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak
perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir
ekonomi nasional di setiap kabinet di era Demokrasi Parlementer. Upaya
membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era Demokrasi
Parlementer, Kabinet Natsir.
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan
ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru.
Soemitro mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan.
Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan dari
kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, karena pengusaha
pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya
membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan
bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka
secara bertahap pengusaha pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan
mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan berhasil.
Gagasan Soemitro kemudian
dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi
Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari
RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng. Program ini antara lain
mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta
membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah
perlindungan pemerintah. Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum
pengusaha pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha
keturunan Cina dan asing lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah
memberi peluang usaha sebesar-besarnya bagi pengusaha pribumi dengan bantuan
kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kelas pengusaha pribumi
yang mampu meningkatkan produktivitas barang dan modal domestik.
Sayangnya dalam pelaksanaan
muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi
impor banyak yang disalahgunakan. Mereka yang menerima lisensi bukanlah
orang-orang yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang
yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang
mendistribusikan lisensi dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya
pertimbangan-pertimbangan politik. Akibatnya, pengusaha-pengusaha yang masuk
dalam Program Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan
maksud pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual
lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang
kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain dalam pelaksanaan
Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya
merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi.
Orang Indonesia hanya digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya
yang menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan keturunan Cina. Perusahaan
yang lahir dari kerjasama tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba".
Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga keturuan Cina.
Usaha lain yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan
Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara
Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari
persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya. Dukungan dari pemerintah
terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada
Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha
pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu
muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan
masyarakat pribumi.
Pemerintah, selain melakukan
upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek
untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah
uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran. Untuk itu pada tanggal 20
Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan
memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang
mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting
Syafrudin.
Upaya pembangunan ekonomi
nasional juga diwujudkan melalui Program Pembangunan Rencana Lima Tahun,
1956-1960, yang disiapkan oleh Biro Perancang Nasional (BPN) yang dipimpin oleh
Djuanda. Program ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo
II. Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum
sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta
mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana
Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya
perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor
publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor
swasta.
Usaha pembangunan ekonomi
nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini berupa tindakan pencabutan hak
milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya
sebagai milik pemerintah Republik Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing
dilakukan karena Belanda dianggap ingkar janji dengan tidak menyerahkan Irian
Barat kembali ke pangkuan RI sesuai dengan kesepakatan dalam KMB. Sejak tahun
1957 nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama,
tahap pengambilalihan, penyitaan, dan penguasaan atau sering disebut “di bawah
pengawasan”. kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni
perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan. Tahap
ini dimulai pada Desember 1958 dengan dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia. Contoh beberapa perusahaan
yang dinasionalisasi misalnya NV. KPM (Koninklijk
Paketvaart Maatschappij) menjadi PT
Pelni, KNILM (Koninklijk Nederlands
Indische Luchvaart Maatschappij) yang kemudian dibentuk Garuda Indonesia Airways, dan perusahaan minyak Borneo Petroleum Maatschappij.
2. Sistem
Ekonomi Liberal
Sesudah pengakuan kedaulatan,
pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat
dampak dari disepakatinya ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai
utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur
perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai
ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis
hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang
Dunia II.
Permasalahan yang dihadapi
pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan
permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi
pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar
dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi
pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah.
Beban berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era
ini, pemerintah mengalami defisit sebesar Rp 5,1 miliar. Defisit ini sebagian
besar berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah dan kebijakan ekspor impor
barang, terutama ketika pecah Perang Korea.
Namun sejak tahun 1951,
penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya volume perdagangan
internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas
ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak
perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas
ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran
pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga
angka defisit semakin meningkat. Di samping itu, pemerintah belum berhasil
meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk
meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik
keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang
oleh pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda
yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi
dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan
yang drastis.
Kebijakan yang ditempuh
pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut di antaranya adalah
melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran
yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti
pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini
diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana,
dan penanaman modal asing.
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim
delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek).
Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan
Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai
berikut:
1. Pembatalan
Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek) hasil KMB
2. Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
3.
Hubungan Finek didasarkan atas undang-undang
Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain.
Namun, usul Indonesia ini tidak
diterima oleh pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak
melaksanakan rancangan Fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada
tanggal 13 ebuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan
Belanda.
Upaya
yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Nasional pada
masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini
dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang
Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun
(RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena
berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk
dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik
yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan
pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Kondisi ini mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari
angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.