Mr. ASSAAT PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEMBILAN BULAN
Ketika itu dalam tahun 1946-1949 di Jalan Malioboro Yogyakarta hampir setiap hari terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki kalaupun tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Dibalik kulitnya yang kehitam-hitaman dia memancarkan wajah ceriah serta bersikap sederhana. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun terlihat rambutnya mulai memutih dengan peci beludru hitam yang tidak pernah lepas dari kepalanya.
Itulah sosok Mr. Assaat yang menjabat Presiden RI sekitar 9 bulan Mr. Assaat menjabat dari tanggal 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950. Dalam catatan sejarah pada 27 Desember 1959 terjadi dua transfer kekuasaan yaitu di Amsterdam Negeri Belanda ada penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan di Yogyakarta ada penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. RIS yang terdiri dari 16 negara bagian yang salah satunya adalah Republik Indonesia. Karena Soekarno dan Moh Hatta telah ditetapkan menjadi presiden dan perdana menteri RIS berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Untuk mengisinya maka Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Mr. Assaat dilantik pada 27 Desember 1949 sebagai Pemengku Jabatan (action) Presiden RI. Pengakuan keberadaan RI dengan presidennya Mr. Assaaat dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampaknya bahwa sejrah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernha putus sampai kini.
Walaupu usia Republik Indonesia sebagai negara bagian RIS hanya delapan bulan, Mr. Assaat telah melakukan usaha signifikan dalam memperjuangkan kembali negara kesatuan yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia. Banyak negara bagian RIS yang menggabungkan diri pada Republik Indonesia pimpinan Mr. Assaat. Akhirnya jumlah negara bagian RIS hanya tinggal tiga, yaitu Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.
Pada bulan Juli 1950 negara RIS yang terdiri dari Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur mengubah bentuk Negara Federasi RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1950. Ketiga presiden negara bagian tadi menyerahkan mandat kepresidenan kepada Soekarno sebagi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun ini merupakan bentuk taktik diplomasi bangsa Indonesia untuk menghadapi kelicikan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia seperti sebelum terjadinya Perang Dunia II dahulu dan sekaligus memenangkan seluruh wilayah Indonesia untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
Dengan pengakuan keberadaan RI dalam RIS yang hanya bebarapa bulan, tampak sejarah Republik Indonesia sjak 1945 tidak pernah putus sampai kini. Bahkan ketika memangku jabatan, Mr. Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gajahmada di Yogyakarta atas nama Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian kita tidak dapat menghilangkan realitas sejarah bahwa Mr. Assaat adalah pejabat presiden yang diakui pula statusnya dalam kepemimpinan Republik Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya Mr. Assaat seorang yang demokrat dan seorang muslim pernah menentang kebijakan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin yang memberi angin segar kepada PKI didalam pemerintahannya. Karena keamanan yang terancam kemudian beliau menyingkir ke Sumatera, hingga terjadilah perlawanan terhadap pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bersama para tokoh lainnya, sehingga membawanya dalam penjara masa demokrasi terpimpin selama empat tahun dari tahun 1962-1966. Dia baru keluar dari tahanan di Jakarta setelah Orde Lama diganti rezim Orde Baru. Selama sepuluh tahun berlangsung pada 16 Juli 1976 Mr Assaat yang lahir di Sumatera Barat, 18 September 1904 ini meninggal dunia di rumahnya yang sederhana di Warung Jati- Jakarta Selatan. Lelaki bergelar Datok Mudo ini diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya. Pada waktu pemakaman dia dihormati oleh negara dengan prosesi kebesaran militer.
Oleh Suwandi, S.Pd.M.Pd. alumni Universitas Negeri Surabaya ini peminat sejarah yang tinggal di Gresik, Indonesia
Rabu, 16 Desember 2009
Minggu, 13 Desember 2009
SYARIF ABDUL HAMID ALKADRIE SANG PERANCANG LAMBANG NEGARA INDONESIA
Perancang lambang negara Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan Syarif Muhammadi Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger).
Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.
Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd
* Aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Surabaya tinggal di Gresik, Indonesia
Perancang lambang negara Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan Syarif Muhammadi Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli 1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger).
Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.
Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd
* Aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Surabaya tinggal di Gresik, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)