Selasa, 22 Januari 2013

TERBENTUKNYA PERADABAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA


Mendeskripsikan kehidupan manusia di masa lampau adalah dengan menganalisis serangkaian peninggalan sejarahnya agar supaya kita  mengetahui apa definisi dan benluk peninggalan sejarah itu. Dari peninggalan sejarah itulah, kita bisa merekonstruksi beragam peristiwa yang terjadi pada masa lampau untuk dijadikan cerita sejarah. Begitu pula saat kita hendak meneliti dan menulis kehidupan manusia dan masyarakat awal yang ada di Kepulauan Indonesia. Melalui bantuan ilmu Arkeologi kita bisa mengungkap misteri kehidupan manusia di masa lampau. Serangkaian penemuan fosil, baik menyangkut manusia maupun hasil budayanya, bisa kita jadikan tahap awal untuk meneliti seperti apa wujud kehidupan mereka itu.
Penemuan fosil itu memang bisa dijadikan pintu pembuka untuk mengungkap misteri kehidupan manusia yang telah terselimuti kabut selama ratusan ribu tahun itu. Namun, itu belum bisa menjamin bahwa rekonstruksi yang kita lakukan itu sesuai dengan faktanya. Karena, sebuah fosil bisa dianalisis dan diinterpretasi menjadi beragam cerita sesuai dengan visi, kepentingan, dan kejujuran para penelitinya. Inilah yang sering menimbulkan polemik di antara para ilmuwan, seperti dalam kasus asal usul manusia modern. Apakah manusia itu berasal dari Afrika lalu menyebar ke berbagai tempat di dunia atau muncul di berbagai tempat secara sendiri-sendiri. Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, kita mesti kritis di dalam menyikapi temuan-temuan itu. Pembelajaran berikut ini akan mendeskripsikan teori-teori asal usul manusia di Indonesia, dilanjutkan dengan menganalisis perkembangan kehidupan serta kebudayaan manusia dan masyarakat awal di Indonesia
A.   Asal Usul dan Persebaran Manusia
1. "Hawa Mitokondria" dan "Adam Kromosom Y" Asal Mula Manusia Modern
Selama berpuluh-puluh tahun petunjuk satu-satunya dalam penelitian persebaran manusia purba adalah fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggalkan dalam pengembaraan mereka. Penelusuran asal usul manusia seperti mendapatkan darah baru, setelah penerapan teknologi genetika dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) untuk mencari tahu hubungan kekerabatan antarpopulasi. Terobosan itu membuka pintu gerbang menuju pengungkapan cikal-bakal manusia modern atas dasar persamaan genetik.
Setiap tetes darah manusia berisi buku sejarah yang ditulis dalam bahasa genetika. Kode-kode genetika manusia atau genom, adalah 99,9 persen identik di seluruh dunia. Selebihnya ialah DNA yang bertanggungjawab terhadap perbedaan individual, seperti warna mata, resiko penyakit, dan beberapa DNA yang tidak begitu jelas fungsinya.
Suatu ketika dalam perubahan genetika yang langka, mutasi acak dan tidak berbahaya dapat terjadi dalam salah satu DNA yang tak berfungsi tersebut, yang kemudian diwariskan ke semua keturunan orang itu. Namun, mutasi-mutasi yang memberikan petunjuk tetap terlindungi. Salah satunya adalah DNA mitokondria (mtDNA), yang diteruskan utuh dari ibu ke anak. Demikian juga sebagian besar kromoson Y, yang menentukan laki-laki, berpindah utuh dari ayah ke anak laki-laki.
Berdasarkan penelitian mtDNA dari berbagai populasi, para ilmuwan menyimpulkan, bahwa manusia modern sekarang ini semua merupakan satu keturunan dari satu nenek moyang ("Hawa" mitokondria). Hawa mitokondria segera bergabung dengan "Adam kromosom Y". Semua umat manusia terkait dengan Hawa mitokondria melalui rantai para ibu yang tak terpatahkan.
Oleh karena itu, DNA Mitokondria dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah asal usul dan persebaran manusia dari sisi ibu (maternal). Orang-orang di dari berbagai belahan dunia memiliki garis keturunan berbeda, tetapi mereka mtDNA dan kromoson Y purba yang setara. Untuk mempelajari persebaran manusia purba/ penelitian DNA mitokondria ini menggunakan sumber genetik yang dapat bertahan dalam waktu lama, yaitu tulang-belulang yang sudah menjadi fosil.
Kesimpulan itu membuka cakrawala baru bahwa manusia modern bukanlah keturunan dari manusia purba semacam Homo Sapiens yang hidup 500.000 tahun lalu, atau bahkan, spesies yang lebih tua seperti Homo Habilis (2,5-1,6 juta tahun lalu), Homo Ergaster (1/8-1,4 juta tahun lalu), dan Homo Erectus (1,5 juta tahun lalu).


2. Folimorfisme
Polimorfisme adalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme) ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga menggambarkan karakteristik suatu populasi.
Oleh karena, itu jauh-dekatnya kekerabatan suatu kelompok suku bangsa dapat dilihat dari persamaan variasi dari suku bangsa tersebut. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut. Sebaliknya jika ada dua orang yang mtDNA-nya persis sama, maka kekerabatan di antara keduanya sangat dekat, mungkin satu ibu, satu nenek, atau satu nenek moyang.
3. Daerah Asal Manusia
Pada pertengahan tahun 1980-an Allan Wilson dan rekan-rekan di University of California, Barkeley, menggunakan mtDNA untuk mengidentifikasikan tempat asal nenek moyang umat manusia. Mereka membandingkan mtDNA dari wanita-wanita di seluruh dunia dan menemukan bahwa wanita-wanita keturunan Afrika menunjukkan keanekaragaman dua kali lebih banyak daripada kaum wanita lain.
Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat mengungkapkan hal senada dengan pendapat bahwa manusia modern berasal dari salah satu tempat di Afrika antara kurun waktu 100 - 200 ribu tahun lalu. Dari situ moyang manusia masa kini itu lantas menyebar dan mendiami tempat-tempat di luar Afrika. Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia purba.
Sekitar 50.000 hingga 70.000 tahun silam, satu gelombang kecil manusia yang mungkin hanya berjumlah seribu orang dari Afrika menuju pantai-pantai Asia bagian Barat. Ada dua jalur tersedia menuju Asia. Pertama mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi Semenanjung Sinai lalu ke utara lewat Levant. Namun, jalur yang satunya juga mengundang untuk dijelajahi, yaitu melintasi Laut Merah. Pada saat itu (70.000 tahun yang lalu) bumi memasuki zaman es terakhir dan permukaan laut menjadi lebih rendah karena air tertahan dalam gletser. Pada bagian tersempit di muara Laut Merah hanya berjarak beberapa kilometer. Dengan menggunakan perahu primitif, manusia modern dapat menyeberangi laut untuk pertama kalinya.
Setelah berada di Asia, bukti genetis memperkirakan populasi terpecah. Satu kelompok tinggal sementara di Timur Tengah, sementara kelompok lain menyusuri pantai sekitar Semenanjung Arab, India dan wilayah Asia yang lebih jauh. Setiap generasi mungkin bergerak hanya beberapa kilometer lebih jauh.
Para pengembara telah mencapai Australia Barat Daya 45.000 tahun lalu. Hal ini terbukti dengan penemuan fosil seorang pria di Lake Mungo. Fosil-fosil lain yang belum terungkap di dalam tanah mungkin berusia lebih tua yaitn sekitar 50.000 tahun yang lalu. Hal ini menjadi bukti paling awal manusia modern yang berada jauh dari Afrika.
Tidak ada jejak fisik berupa fosil orang-orang ini sepanjang sekitar 13.000 kilometer dari Afrika ke Australia. Semua mungkin sudah lenyap saat air laut naik sesudah zaman es. Namun jejak genetika berlangsung terus. Beberapa kelompok pribumi pada kepulauan Andaman dekat Myanmar, Malaysia dan Papua Nugini, serta orang Aborigin di Australia memiliki tanda garis keturunan mitokondria purba.
B.  Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia
Kehidupan manusia di mana pun dia berada, tidak pernah terlepas dari alam yang melingkunginya. Interaksi antara manusia dengan alam itulah yang bisa mendorong lahirnya kebudayaan. Oleh karena itu, cara paling baik untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal, bisa dimulai dengan menganalisis struktur dan umur bumi. Dan hal ini bisa diawali dengan meneliti fosil yang ditemukan. Dari situlah, kita bisa mengetahui seperti apa wujud manusia, kapan dia hidup, berapa umurnya, dan bagaimana bentuk kebudayaannya.
Untuk bisa mengetahui bagaimana karakteristik bumi dari zaman ke zaman itu, kita perlu bantuan ilmu geologi dan geografi. Menurut ilmu geologi, bumi itu dibagi menjadi beberapa zaman.

1. Zaman Arkhaicum atau Zaman Tertua
Periode mi terjadi kira-kira beberapa puluh juta tahun Sebelum Masehi. Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun yang lalu. Pada masa ini, belum ada binatang-binatang yang bertulang, yang hidup hanyalah binatang-binatang rendah.
2.  Zaman Palaeozoicum atau Zaman Pertama
Periode ini terjadi kira-kira 340  juta tahun Sebelum Masehi. Hidup pada masa ini ikan dan binatang yang hidup di darat maupun di air.
3. Zaman Mesozoicum atau Zaman Kedua
Periode ini terjadi kira-kira 140  juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini telah hidup binatang reptil yang besar, ikan-ikan yang besar, dan beberapa binatang yang menyusui.
4. Zaman Neozoicum
Zaman ini terbagi lagi menjadi beberapa zaman, yaitu:
a. Zaman Ketiga
Periode ini terjadi kira-kira 60 juta tahun yang lalu. Pada periode ini, sudah banyak ditemukan binatang menyusui. Bahkan pada akhir zaman ini sudah, ada beberapa kera seperti manusia, misalnya gorila, orang utan, dan se-bagainya.
b. Zaman Keempat
Periode ini terjadi kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Manusia dipastikan telah ada pada masa ini. Zaman ini terbagi menjadi dua periode, yaitu Diluvium atan zaman es dan Alluvium yaitu zaman yang kita alami sekarang, yang terdiri atas diluvium tua, tengah, dan muda. Dalam ilmu Geologi, zaman diluvium disebut juga zaman pleistosen atau zaman glasial atau zaman es. Sedangkan zaman alluvium disebut juga zaman Holosen di mana mulai hidup Homo sapiens.

Kepulauan Indonesia sendiri pada zaman pleistosen yaitu saat manusia telah hidup dan berkembang, masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Coba kamu amati peta Asia Tenggara pada zaman pleistosen. Karena air yang ada di Kutub Utara dan Selatan membeku hingga sampai ke lintang 60°, maka permukaan air laut turun sampai 70 meter dari keadaan sekarang. Salah satu akibatnya adalah wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan atau kontinen Asia dan wilayah Indonesia bagian timur bersatu dengan Benua Australia. Kamu tentu bisa menghubungkan fenomena ini dengan kemiripan flora dan fauna yang ada di kedua bagian Indonesia itu, dengan yang ada di kedua benua tersebut. Kebanyakan binatang yang ada di Indonesia bagian barat mempunyai kesamaan dengan yang ada di daratan Asia, sementara yang berada di kawasan Indonesia Timur mempunyai kemiripan dengan binatang yang ada di Benua Australia. Mungkinkah fenomena itu juga bisa digunakan untuk merunut asal usul manusianya?
C. Beragam Teori  Muncul dan Berkembangnya Manusia
Kamu telah mengetahui pada zaman apa manusia ada di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah pada periode apakah manusia itu muncul dan berkembang serta dari manakah asal usulnya? Permasalahan inilah yang hingga saat ini menjadi kontroversi dan perdebatan di antara para ilmuwan. Berikut ini kita deskripsikan beberapa teori dan pendapat para ilmuwan yang berkaitan dengan asal-usul serta perkembangan manusia.
a. Kalangan Evolusionis
Tokoh-tokoh pemikir Yunani Kuno seperti Empodocles, Anaximander, dan Aristoteles berpendapat bahwa baik tumbuhan maupun hewan itu mengalami evolusi dan dari tubuh binatang tertentu berevolusi menjadi manusia. Mereka mengatakan bahwa binatang yang satu berasal dari binatang yang lain.
b. Ernest Haeckel (1834-1919)
Ilmuwan biologi dari Jerman ini berpendapat bahwa asal usul kehidupan yang pertama berasal dari zat putih telur yang liat dan cair. Akibat pengaruh dari luar maka terciptalah bakteri, amuba, binatang berongga, ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang menyusui anak. Binatang-binatang itn saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada zaman tersier (ketiga) dari binatang menyusui itu berkembang dan muncullah manusia. Haeckel berkesimpulan, bahwa nenek . moyang manusia itu berasal dari bangsa kera atau monyet dalam tingkatan yang teratur.
c. Charles Robert Darwin (1809-1882)
Darwin adalah ilmuwan Inggris yang kemudian dikenal sebagai tokoh evolusi itu, memaparkan teorinya menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Teori Descendensi atau Turunan
Dalam bukunya yang berjudul The Descen of Man (1871), Darwin berkata bahwa manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika (gorila dan simpanse). Teori lainnya menyebutkan bahwa makhluk yang lebih tinggi itu berasal dari makhluk yang lebih rendah. Akhirnya, semua makhluk hidup bisa di-kembalikan kepada beberapa bentuk asal.
2) Teori Natural Selection atau Seleksi Alam
Teori ini mencoba member! keterangan tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang menyesuaikan diri kepada alam sekitarnya. Darwinisme adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa semua barang-barang yang hidup dapat maju perlahan-lahan naik ke atas. Keyakinan Darwin bahwa manusia itu berasal dari hewan, telah memicu perdebatan antarilmuwan dan kontroversi bahkan hingga kini. Dalam kerangka teori Darwin itu pulalah, berbagai penemuan fosil manusia purba yang ada di Indonesia senantiasa dikaitkan.
Asal usul kehidupan awal manusia dan masyarakat di Indonesia dengan beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melacak asal usul kehidupan manusia dan masyarakat awal di Indonesia.
a. Berdasarkan Rumpun Kebahasaan
Menurut penelitian, penduduk di wilayah Indonesia (selain orang Irian dan Halmahera) mempunyai banyak persamaan dalam hal ras, kebudayaan, serta bahasa. Dengan menggunakan hukum-hukiim suara, kita bisa menemukan adanya rumpun kebahasaan.
"Bahasa menunjukkan bangsa, tiada bahasa hilanglah bangsa," kata Muhammad Yamin. Nah, ketika kita mempelajari bahasa Indonesia, kita mengenal adanya rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia Tenggara yang . disebut rumpun bahasa Austria. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu bahasa Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (Mundha) dan Mon Khmer di India Belakang, serta bahasa Austronesia yang meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia, dan Polinesia.
Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, bila ditinjau dari fisiknya maka penduduk asli Indonesia terdiri atas tiga golongan. Pertama, golongan Negrito dengan ciri-ciri berkniit hitam, ranibul keriling, tubuhnya kecil dan tingginya rata-rata 1,5 m. Profil semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian. Kedua, golongan Weddoid dengan ciri khas rambut berombak tegang, lengkung alis menjorok ke depan, dan kulitnya agak cokelat. Profil semacam ini terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, Sakai di Siak, Knbn di Palembang, dan Tomnna di Sulawesi. Ketiga, golongan Melayu dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping, wajahnya bundar, hidung pesek serta berambut hitam. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. Von Eichstedt menamakannya sebagai Palaeo-Mongolid. Profil Proto-Melayu terdapat pada suku bangsa Mentawai, Toraja, dan Dayak. Kelompok ini disebut juga Melayu Tua. Profil Deutero-Melayu terdapat pada suku bangsa Sunda, Jawa, Minangkabau, Bali, dan Makassar. Kelompok ini disebut juga kelompok Melayu Muda.
1. Bangsa Melayu Berasal dari Utara yaitu Asia Tengah
Ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa bangsa Melayu berasal dari daratan Asia bagian tengah. Sekilas akan kita deskripsikan siapa tokoh dan teorinya dalam deskripsi berikut ini:
a)      Berdasarkan penelitian terhadap kapak tua (beliung batu) yang ada di sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang, mempunyai kemiripan dengan yang ada di Indonesia, la berkesimpulan bahwa kapak tua itu dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Indonesia (R.H. Geldern)
b)      Setelah meneliti beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama mengenai nama-nama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan nama perahu, terdapat persamaan bahasa baik di Indonesia, Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan Kepulauan Pasifik. Kesimpulannya: bahasa Melayu itu berasal dari satu induk yang ada di Asia (J.H.C. Kern).
c)      Kesimpulan penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (yang digunakan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik) ternyata serumpun. Sementara itu, E. Aymonier dan A. Cabaton menemukan bahwa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, di mana keduanya merupakan warisan dari bahasa Melayu Kontinental (W. Marsden).
d)      Antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia terdapat kesamaan pembentukan kata. Kedua bahasa itu berasal dari bahasa yang lebih tua yang disebut Melayu Polinesia Purba. Sementara itu, A.H. Keane menemukan bahwa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa di Kampuchea (J.R. Foster).
e)      Ada kesamaan adat kebiasaan antara suku bangsa Naga di Assam (daerah Burma dan Tibet) dengan suku bangsa Melayu. Persamaan adat itu juga berkait erat dengan bahasanya. Dari situ tentu bahasa Melayu berasal dari Asia. Pendapat Logan didukung oleh G.K. Nieman dan R.M. Clark serta Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar. Maka Slamet Muljana berkesimpulan bahwa bahasa Austronesia (termasuk di dalamnya bahasa Melayu) berasal dari Asia. Sedangkan Asmah Haji Omar menguraikan bahwa perpindahan orang Melayu dari daratan Asia ke Indonesia tidak sekaligus. Ada yang melalui daratan yaitu tanah semenanjung melalui Lautan Hindia, ada pula yang melalui Laut Cina Selatan (J.R. Logam).

Secara ringkas, perpindahan orang Melayu dari Asia Tengah dapat dijelaskan dengan merunut latar belakang asal usul orang Negrito, Proto-Melayu, dan Deutero-Melayu. Sebelum kedatangan bangsa Melayu, Kepulauan Indonesia dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai orang Negrito. Mereka hidup kira-kira sejak tahun 8000 Sebelum Masehi, tinggal di dalam gua dengan mata pencaharian berburu binatang. Alat yang mereka gunakan terbuat dari batu dan zaman ini disebut sebagai zaman batu pertengahan. Profil orang ini ditemukan pada bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal orang Negrito, Sakai, dan Semai yang hidup pada zaman paleolit dan mesolit.
Gelombang pertama kedatangan orang-orang Asia Tengah diperkirakan pada tahun 2500 Sebelum Masehi. Mereka disebut sebagai Proto-Melayu. Peradabannya lebih maju apabila dibandingkan dengan orang Negrito, karena mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, barang pecah belah, dan perhiasan. Kelompok ini hidup berpindah-pindah dan hidup pada zaman neolitik atau zaman batu baru. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1500 Sebelum Masehi terdiri atas orang Deutero-Melayu. Peradabannya lebih maju lagi apabila dibandingkan dengan orang Proto-Melayu. Mereka telah mengenal kebudayaan logam karena menggunakan alat perburuan dan pertanian yang terbuat dari besi. Selain itu,, mereka telah menetap di suatu tempat, mendirikan kampung, bermasyarakat, dan menganut animisme. Mereka hidup di zaman logam di sekitar pantai Kepulauan Indonesia. Kedatangan Deutero-Melayu ini mendesak Proto-Melayu, hingga mereka pindah ke pedalaman.
2.  Bangsa Melayu Berasal dari Nusantara
Ada beberapa ilmuwan yang mendukung teori ini. Beberapa di antaranya bisa diperhatikan pada deskripsi di bawah ini.
a)     Setelah membuat perbandingan bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta kawasan Polinesia, ia berkesimpulan bahwa asal bahasa yang ada di Kepulauan Indonesia berasal dari bahasa Jawa di Jawa dan bahasa Melayu di Sumatra. Kedua bahasa itu merupakan induk bahasa-bahasa di Indonesia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa bangsa Jawa dan bangsa Melayu telah mencapai peradaban yang tinggi pada abad XIX. Hal ini bisa dicapai, karena selama berabad-abad kedua bangsa itu telah mempunyai kebudayaan yang maju. Kesimpulannya: orang Melayu tidak berasal dari rnana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke tempat lain. Sedang bahasa Jawa adalah bahasa tertua yang menjadi induk dari bahasa-bahasa yang lain (J. Crawfurd).
b)    Bangsa-bangsa berkulit cokelat yang hidup di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Filipina adalah bangsa Melayu yang berasal dari rumpun bahasa yang satu. Bahkan mereka bukan saja sama kulitnya, tetapi bentuk dan anggota badannya sama dan membedakannya dari bangsa Cina di sebelah timurnya atau bangsa India di sebelah baratnya (Sutan Takdir Alisyabana).
c)     Dengan teori leksikostatistik dan teori migrasi ia meneliti asal usul bangsa dan bahasa Melayu. Kesimpulannya: tanah air dan nenek moyang bangsa Austronesia haruslah daerah Indonesia dan Filipina yang dahulunya merupakan kesatuan geografis (Gorys Keraf).
d)    Pada saat es mencair pada zaman kuarter (satu juta tahun hingga 500.000 yang lalu), air menggenangi daratan-daratan yang rendah. Daratan tinggi membentuk pulau dan memisah daratan-daratan rendah. Saat inilah Semenanjung Malaka berpisah dengan daratan lain dan membentuk Kepulauan Indonesia. Dampaknya adalah tiga kelompok Homo sapiens yaitu orang Negrito di sekitar Irian dan Melanesia, orang Kaukasus di Indonesia Timur, Sulawesi dan Filipina, serta orang Mongoloid di utara dan barat lautAsia, berpisah satu dengan yang lain (Pendapat lainnya).
Dari deskripsi di atas, kita bisa merekonstruksi kehadiran suatu bangsa dengan merunut penggunaan bahasanya. Perkembangan suatu bahasa memang bisa meliputi suatu kawasan yang sangat luas dan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Dari studi kebahasaan ini, kita bisa mengetahui dari mana sebuah bahasa berasal dan ke arah mana bahasa itu berkembang. Dari sinilah kila bisa mengetahui bangsa yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
b. Berdasar Temuan Arkeologis
Sungguh beruntung kita hidup di wilayah Indonesia. Berbagai tempat di negara kita ternyata termasuk dalam wilayah "dunia lama" yang menjadi salah satu situs tempat ditemukannya manusia-manusia purba. Dari berbagai penemuan fosil di beberapa tempat, kita bisa sedikit menguak bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal peradaban. Setidaknya ada tiga fosil yang bisa dijadikan pembuka tabir kehidupan manusia di masa lampau.
Pada tahnn 1898 seorang dokter Belanda, Engene Dubois menemukan sekelompok fosil di Lembah Sungai Bengawan Solo (di Desa Kedung Brubus dan Trinil), yang terdiri atas tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha. Isi otak makhink itu lebih besar apabila dibandingkan dengan jenis kera, namun jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan isi otak mannsia. (Perbandingan isi otaknya adalah 800 cc:
1.500 cc). Gigi pada fosil itu menunjukkan sifat manusia, sedang tulang pahanya menunjukkan ia bisa berdiri tegak. Fosil ini kemudian ia namai dengan Pithecanthropus erectus atau manusia kera yang berjalan tegak. Dubois meyakininya sebagai nenek moyang manusia zaman sekarang. Benarkah teori Dubois tersebut?
Fenomena kehidupan manusia Indonesia di masa lampau semakin terkuak, setelah sekitar dua puluh fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah antara tahun 1931-1934. Ahli geologi dari Jerman yang bernama G.H.R. von Koenigswald menemukan empat betas fosil Pithecanthropus yang terdiri atas dua betas tengkorak dan dua tibia (tulang kering) di Desa Ngandong di sekitar Lembah Bengawan Solo. Semua fosil yang ditemukan pada lapisan pleistosen tengah itu kemudian diteliti secara mendalam oleh ahli palaeoantropologi kita yaitu Teuku Jacob. Dalam disertasi berjudul Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region yang ia pertahankan di Universitas Utrecht tahun 1967, fosil yang semula disebut Homo soloensis itu kemudian ia sebut Pithecanthropus soloensis. Diduga umurnya antara 800.000 hingga 200.000 tahun. Pada tahun 1938 ditemukan fosil di Desa Perning (Mojokerto) dan Trinil (Surakarta) yang   diperkirakan   berumur 2.000.000 tahun dan diberi nama Pithecanthropus Mojokertensis.
Von Koenigswald kembali me­nemukan fosil di Sangiran pada tahun 1941 yang terdiri atas bagian rahang bawah (mirip rahang manu­sia) dengan ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran gorila jantan. jantan. Dari situ kemudian diberi nama Meganthropus palaeojavanicus atau* Manusia Besar dari Jawa zaman kuno (mega=besar, anthropus=manusia). Penemuan berikutnya terjadi di Desa Sangiran (lima fosil) dan Sambungmacan, Sragen serta berbagai tempat lainnya hingga semua fosil berjumlah 41 buah.
Lalu, teori apa yang kita dapat setelah menganalisis serangkaian penemuan fosil-fosil tersebut? Teuku Jacob berpendapat bahwa makhluk pithecanthropus itu belum berbudaya. Alasannya sebagai berikut. (1) Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan di sekitar penemuan fosil, yang menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya. (2)  Volume otak Pithecanthropus masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan makhluk manusia sekarang. Volume otak bisa diperkirakan dari kapasitas rongga tengkoraknya. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa volume otak Pithecanthropus erectus sekitar 800 cc, Pithecanthropus soloensis (1.000 cc), sedang manusia sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan demikian, sulit dipercaya bahwa makhluk itu telah mempunyai akal. (3) Rongga mulut tengkorak Pithecanthropus menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa. Dengan keterbatasan akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk ini untuk secara sadar membuat pola-pola kehidupan yang teratur. Akal dan bahasa memang merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya evolusi dan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula keahlian serta kebudayaannya.
Namun, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang menyertai penemuan fosil-fosil itu, adasatu hal yang disepakati oleh para ahli palaeoantropologi yaitu bahwa Pithecanthropus (termasuk di dalamnya Meganthropus palaeojavanicus) dianggap sebagai makhluk pendahuluan manusia di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Mereka hidup 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu, terdiri atas kelompok-kelompok berburu kecil beranggotakan 10 sampai 12 individu. Rata-rata setiap individu berumur 20 tahun, sehingga Pithecanthropus yang berusia 10 tahun telah merupakan makhluk dewasa. Maka, menjadi tidak mengherankan apabila di berbagai tempat di Indonesia ditemukan kelompok-kelompok fosil dari makhluk purba. Hanya saja, meskipun mereka mungkin telah menggunakan beberapa alat untuk membantu keterbatasan kemampuan organismenya, namun mereka belum dianggap sepenuhnya sebagai makhluk manusia yang berbudaya.
Itulah deskripsi singkat tentang beberapa teori yang berkaitan dengan asal usul manusia di Indonesia. Tentu masih banyak lagi teori-teori yang lain yang diungkapkan oleh sejumlah ilmuwan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Antara lain kamu bisa mencarinya di situs-situs yang ada di internet atau melalui beragam pustaka. Misalnya pada situs http://www.harunyahya.com, di sini kamu bisa mengikuti perdebatan seputar penemuan-penemuan manusia dari beberapa ilmuwan. Dengan mengikuti perdebatan itu tentu kamu akan bertambah kritis, luas wawasan dan tidak ketinggalan zaman dalam mengikuti perkembangan mutakhir seputar teori-teori mengenai penemuan manusia.

D. Perkembangan Manusia Purba di Indonesia
1.  Kondisi Alam Indonesia
Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan menjadi satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas. Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini kelak, oleh Wallacea disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan. Karenanya, tipe fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan dukungan iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk Primates) bisa berlangsung.
Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan Indonesia-Australia. Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang berlawanan.
Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru yang saling terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-berai dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan.
Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi, sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada tahun 2004.
Nah, dengan latar belakang sejarah seperti itulah muncul kehidupan manusia di bumi Indonesia. Lalu, seperti apa jenis manusia purba yang ada di Indonesia dan sampai pada tahap apakah kebudayaan mereka? Pembelajaran berikut ini akan memandumu dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan perkembangan manusia purba di Indonesia.
2. Jenis Manusia Purba di Indonesia
Seperti telah kamu ketahui, bahwa manusia purba itu mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda bila di-bandingkan dengan manusia zaman sekarang. Tengkorak manusia purba cenderung lebih kecil namun memanjang, rahangnya tebal namun tidak berdagu serta tidak mempunyai dahi. Perbandingan semacam ini bisa kita peroleh setelah kita menganalisis serangkaian penemuan fosil, baik yang berupa tengkorak maupun tulang-tulang anggota badan lainnya.
Begitu pula saat kita nanti mendeskripsikan hasil-hasil budayanya. Data-data tentang hasil budayanya itu bisa kita peroleh setelah kita menganalisis fosil yang berwujud beragam bentuk peralatan yang diduga pernah mereka gunakan. Lalu, untuk menentukan usia fosil itu kita harus menganalisis lapisan bumi di ' mana fosil itu ditemukan, tentu dengan bantuan ilmu Geologi. Dengan cara inilah, kita sekarang bisa mengklasifikasi jenis dan budaya manusia purba di Indonesia.
Penemuan manusia purba di Indonesia terjadi pada akhir abad XIX. Bermula dari dugaan Eugene Dubois bahwa manusia purba, monyet, dan kera itu biasanya hidup di daerah tropis, karena iklimnya tidak banyak mengalami perubahan. Ada tiga dasar teori yang digunakan Dubois sebagai acuan. Teori pertama, bahwa pencarian missink link dalam evolusi manusia berasal dari daerah tropik. Alasannya, berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba hanya bisa terjadi pada daerah tropika yang hangat. Teori kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, umumnya mereka tinggal di daerah geografis yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, hewan yang paling mirip dengan manusia adalah kera besar. Oleh karena itu, Dubois menduga bahwa nenek moyang kera besar mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) dengan manusia. Teori ketiga, Dubois percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal usul manusia. Alasannya, di sana ada orang utan dan siamang.
Penelitian pun dilakukan oleh sejumlah peneliti luar negeri di berbagai tempat. Secara umum penelitian itu terbagi menjadi tiga tahap yaitu periode 1889-1909, periode 1931-1941, serta periode 1952 sampai sekarang. Dunia ilmu pengetahuan (terutama Palaeoantropologi dan ilmu Hayat) menjadi gempar saat tahun 1889 Dubois berhasil menemukan sejumlah fosil atap tengkorak di Wajak, Tulungagung, Kediri, yang kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain di Kedungbrubus dan Trinil. Fosil itu disebut dengan Pithecanthropus erectus.
Namun sayangnya, sebagian besar fosil tersebut kini tersimpan di Leiden, Belanda. Fosil lain berhasil ditemukan oleh ter Haar, Oppenoorth, dan von Koenigswald di Ngandong, Blora, antara tahun 1931-1933, berupa tengkorak dan tulang kering yang disebut Pithecanthropus soloensis. Pada tahun 1936-1941, von Koenigswald kembali berhasil menemukan fosil rahang dan gigi yang bemkuran besar serta tengkorak manusia purba di Sangiran, yang kemudian disebut Meganthropuspalaeojavanicus. Selanjutnya, penelitian pascakemerdeka-an banyak melibatkan ahli-ahli Indonesia, terutama di kawasan Sangiran. Berikut ini adalah jenis manusia purba di Indonesia.
a.  Meganthropus atau Manusia Raksasa
Meganthropus berasal dari kata mega yang berarti besar dan anthropus yang berarti manusia. Memang, apabila fosil makhluk itu kamu amati, pasti kamu akan terperangah: besar rahang bawahnya melebihi rahang gorila laki-laki. Fosilnya yang terdiri atas rahang bawah, ra­hang atas,''serta gigi-gigi lepas di­temukan oleh von Koenigswald di Pucangan tahun 1936-1941, dalam lapisan bumi pleistosen tua. Fosil ini kemudian disebut Meganthro­pus Paleojavanicus atau manusia besar dari Jawa zaman kuno.
Selanjutnya, rahang bawah yang lain ditemukan oleh Marks di Kabuh tahun 1952. Namun, sejauh ini di kalangan ilmuwan nasih merasa kesulitan untuk menempatkan Meganthropus di dalam evolusi manusia. Apakah tergolong Pithecanthropus, Homo, atau Australopithecusl. Pakar palaeoan-tropologi kita, Prof. Dr. Teuku Jacob, berpendapat bahwa Meganthropus me-rupakan bentuk khusus (yang lebih besar) dari Pithecanthropus. Alasan teorinya adalah ia berevolusi dengan cara adaptif, akibat pengaruh lingkung-an alam'pada masa tertentu. Mungkin, seandainya rahang bawah itu di­temukan bersama-sama dengan rahang atas dan tengkoraknya, misteri kehidupan Meganthropus baru bisa terbuka.
b.  Pithecanthropus atau Manusia Kera
Pithecanthropus berasal dari kata pithekos yang berarti kera dan anthropus yang berarti manusia. Kebanyakan fosil jenis inilah yang berhasil ditemukan di Indonesia. Mereka hidup pada zaman pleistosen awal, tengah, dan akhir. Makhluk ini mempunyai ciri-ciri tinggi badannya 165-180 cm, tubuh dan badannya tegap, gerahamnya masih besar, rahangnya kuat, tonjolan kening tebal (melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis), tonjolan - belakang kepalanya nyata, belum berdagu, serta berhidung lebar. Volume otaknya berkisar antara 750 sampai 1.300 cc.
Makhluk jenis Pithecanthropus juga ditemukan di kawasan yang lain. Di Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus lautianensis dan di Cina Utara disebut Pithecanthropus Pekinensis. Mereka hidup 800.000 hingga 500.000 tahun yang lampau. Makhluk sejenis juga ditemukan di Tanzania, Kenya, dan Aljazair di Afrika, serta di Eropa seperti di Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Yunani, dan Hongaria. Namun, kebanyakan ditemukan di Indonesia. Ada beberapa jenis manusia purba yang tergolong ke dalam Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
1)  Pithecanthropus Mojokertensis ( Manusia Kera dari Mojokerto)
Jenis ini diduga merupakan manusia purba tertua yang ada di Indonesia dan di­temukan tahun 1936 di Pucangan serta Mojokerto, berupa tengkorak anak-anak berusia 6 tahun. Isi otaknya berkisar 650 cc. Fosil ini ke-mudian disebut Pithecan­thropus mojokertensis atau Pithecanthropus robustus (robustus artinya besar). Dari hasil penelitian, bisa di-simpulkan bahwa makhluk ini hidup pada 2,5 sampai 1,25 juta tahun yang lampau. Makhluk ini mempunyai spesifikasi: berbadan tegap, tonjolan keningnya tebal, tulang pipinya kuat, dan mu-kanya menonjol ke depan. Makhluk ini hidup bersama-an dengan Meganthropus, namun sulit menghubung-kan evolusi keduanya.
2)  Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera yang Berjalan Tegak)
Jenis ini merupakan generasi kedua manusia purba di Indonesia. Yang fenomenal dari jenis ini adalah selain fosilnya ditemukan paling awal, juga memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas. Fosil jenis ini terdiri atas atap tengkorak, tulang paha, serta beberapa fragmen tulang paha yang ditemukan di Trinil tahun 1891. Fosil ini merupakan kepunyaan laki-laki dengan isi otak kira-kira 900 cc. Dari penelitian terhadap tengkoraknya, Dubois member! nama Pithecanthropus atau manusia kera dan dari tulang pahanya ia member! nama erectus atau berjalan tegak. Tidak kurang dari 23 jenis fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah di kawasan Sangiran. Maka, tidak aneh bila fakta dan cerita tentang kehidupan Pithecanthropus lebih banyak kita peroleh dibandingkan dengan manusia purba dari jenis yang lain. Misalnya, makhluk ini hidup sekitar sejuta hingga setengah juta tahun yang lalu, mempunyai tinggi badan 160-180 cm dengan berat badan 80 sampai 100kg.                                             
 Yang membedakan Pithecanthropus erectus dengan Pithecanthropus  Mojokertensis adalah besar isi tengkorak, tebal atap tengkorak, bentuk tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah telinga. Dari fosi1 Pithecanthropus orectus yang berhasil ditemukan, kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Diduga jenis perempuannya banyak yang meninggal saat kehamilan dan persalinan.
3).  Pithecanthropus Soloensis (Manusia Kera dari Solo)
Nama Pithecanthropus soloensis diberikan oleh ilmuwan kita Prof. Dr. Teuku Jacob setelah meneliti 14 jenis fosi1 dari Desa Ngandong di Lembah Bengawan Solo sebelah utara Trinil. Jenis ini merupakan generasi ketiga manusia purba di Indonesia. Dari penemuan fosil yang ada di Sangiran dan Sambungmacan, makhluk ini mempnnyai ciri khas: volume otak 1.000 sampai 1.300 cc, tengkoraknya lonjong, tebal dan masif, tonjolan keningnya cukup nyata, dahinya lebih terisi, serta tengkoraknya lebih tinggi dibanding kedua manusia terdahulu. Tanda-tanda yang lain adalah akar hidungnya lebar dan rongga matanya sangat panjang, tinggi badannya 165 sampai 180 cm, serta tulang keringnya tegap. Dari identifikasi ini bisa disimpulkan bahwa meskipun letak kepalanya di atas tulang belakang, namun belum seperti letak kepala manusia saat ini.
Pithecanthropus soloensis yang hidup kira-kira 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu itu, secara evolutif lebih dekat dengan Pithe­canthropus Mojokertensis dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus.
Para ilmuwan menduga bahwa kedua makhluk itu memang mem-punyai kaitan dalam hal evolusi. Yang membedakannya dengan ke­dua manusia purba terdahulu adalah besarnya tengkorak, tonjol­an kening, dan tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan daerah hidung. Hanya saja, volume otaknya semakin bertambah, demikian pula otak kecilnya. Kamu tentu mengetahui apa dampak yang muncul di balik berkembangnya volume otak ini. Dengan otak yang semakin berkembang itu, Pithecanthropus Soloensis mulai menemukan dan mempunyai cara hidup yang baru. Perubahan inilah yang menyebabkan berkembangnya kebudayaan manusia-manusia purba di Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa ahli yang mengelompokkan Pithecanthropus Soloensis ini ke dalam kelompok Homo Neandertalensis. Bahkan, ada pula yang memasukkan-nya ke dalam kelompok Homo Sapiens. Namun, sejauh ini para ilmuwan belum mencapai kesepakatan.
4) Homo ( Manusia)
Jenis Homo ini mulai mendekati dengan bentuk manusia. Hidup pada zaman pleistosen muda. Sementara itu, dari serangkaian fosi1 yang ditemukan diduga mereka hidup 200.000 tahun yang lalu. Selain banyak jumlahnya dan ditemukan di berbagai tempat, fosilnya tidak hanya berupa tengkorak melainkan juga berupa kerangka yang lengkap. Ada beberapa jenis manusia purba dari kelompok Homo ini, antara lain sebagai berikut.
a).  Homo Neandertalensis (Manusia dan Lembah Neander)
Fosil makhluk ini ditemukan tahun 1856 di Lembah Sungai Neander dekat Kota Dusseldorf, Jerman. Fosil sejenis juga ditemukan di Francis, Belgia, Jerman, Italia, Yugoslavia, serta berbagai negara di Eropa. Di Palestina, fosil itu ditemukan di Gua Tabun dekat Mount Carmel, sehingga disebut HomoPalestinensis. Semula, makhluk ini hanya dianggap sebagai evolusi manusia yang kandas. Namun, setelah penemuan Homo neandertalensis, para ilmuwan sepakat bahwa makhluk ini merupakan nenek moyang salah satu ras manusia.
Yang cukup mengagumkan dari pe­nemuan fosil-fosil ini adalah ditemukan-nya beragam peralatan batu dan sisa-sisa kebudayaan lama di dekat lokasi fosil. Hal itu menunjukkan, bahwa tingkat kehidupan mereka sudah akrab dengan kebudayaan. Bahkan, di Eropa sering ditemukan bekas-bekas api di sekitar penemuan fosil, yang diduga sebagai solusi atas dinginnya iklim di daerah Glasial. Dari penelitian terhadap peralatan yang berhasil ditemukan menunjukkan bahwa mereka sudah berburu. Peralatan batu selain digunakan untuk senjata juga digunakan untuk memotong.
b).  Homo Sapiens (Manusia Sekarang)
Generasi pertama dari manusia sekarang mula-mula hidup pada lapisan pleistosen muda atau zaman glasial terakhir (sekitar 80.000 tahun yang lampau). Mulai saat itu, tidak ditemukan lagi makhluk-makhluk dari dua jenis terdahulu. Karena sejak zaman holosen, fosil manusia yang berhasil ditemukan menunjukkan perbedaan empat ras pokok yang saat itu ada di muka bumi. Keempatnya sebagai berikut.
(1) Ras Australoid yang kini sisa-sisanya bisa kamu temukan di pedalaman Benua Australia. Fosil manusia dari jenis ini ditemukan oleh Rietschoten tahun 1889 di Desa Wajak Kab. Tulungagung Jawa Timur, di Lem­bah Sungai Brantas dalam lapisan pleistosen muda. Fosil ini berupa tengkorak, fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Pada tahun berikutnya ditemukan pula fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah serta tulang paha dan tulang kering. Dari hasil penelitian terhadap fosil itu diperoleh beberapa kesimpulan. Tengkorak manusia ini tergolong besar dengan volume otak 1.630 cc, mukanya datar dan lebar. Akar hidungnya lebar, dahinya agak miring, di atas rongga mata ada busur kening yang nyata. Tinggi manusia itu kira-kira 173 cm diteliti dari tulang pahanya. Manusia yang kerrtudian disebut Homo Wajakensis itu diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lampau, tersebar di Paparan Sunda dan sebagian Indonesia Timur.
Prof. Dr. Teuku Jacob mengajukan sebuah teori, bahwa di daerah Papua (Irian Jaya), telah berkembang suatu ras khusus dari ras Wajak dan menjadi nenek moyang penduduk asli Australia sekarang. Salah satu kemungkinan mengapa terjadi arus migrasi dari Irian ke Australia adalah, masih utuhnya daratan di kedua bagian bumi itu. Laut saat itu belum terbentuk, sehingga mobilitas manusia bisa merambah ke wilayah yang luas. Nah, dari sinilah kita bisa merunut mengapa ras Wajak mampu menyebar hirigga ke Irian. Bahkan, menurut Teuku Jacob, dari ras Wajak ini pulalah berkembang menjadi penduduk Irian dan Melanesia.
(2) Ras Mongoloid adalah ras yang paling besar jumlahnya dan luas wilayah penyebarannya, bahkan hingga saat ini. Fosil manusia dari jenis ini ditemukan di Gua Chou-Kou-Tien (sebelah barat Beijing) Tiongkok antara tahun 1927 dan 1937. Fosil yang berhasil ditemukan itu membuktikan bahwa manusia ini memiliki kemiripan dengan Pithecanthropus yang ada di Indonesia. Fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus pekinensis. Dari hasil penelitian terhadap fosilnya, diperoleh data bahwa ternyata tengkoraknya lebih besar bila dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus, dengan volume otak kira-kira 900 hingga 1.000 cc. Berarti volume otaknya telah mendekati volume otak manusia sekarang. Apalagi di sekitar penemuan fosilnya ditemukan serangkaian peralatan yang menunjukkannya telah memiliki kebudayaan. Bermula dari manusia inilah, kemudian berkembang menjadi beragam ras Mongoloid di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, bahkan hingga Benua Amerika Utara dan Selatan. Mereka diperkirakan hidup antara 40.000 hingga 30.000 tahun yang lampau. Kamu kini tentu bisa merunut, bangsa-bangsa mana sajakah yang nenek moyangnya berasal dari Pithecanthropus Pekinensis ini.
(3) Ras Kaukasoid yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa di Eropa, Afrika bagian utara Gurun Sahara, Asia Barat Daya, Australia serta Benua Amerika Utara dan Selatan. Fosil manusia yang berhasil ditemukan di Desa Les Eyzies, Dordogne di Prancis, diperkirakan berasal dari 60.000 tahun yang lampau. Fosil manusia yang menjadi nenek moyang penduduk Eropa sekarang itu kemudian disebut Homo Sapiens Cromagnonensis. Fosil yang ditemukan itu mempunyai bentuk yang indah, tinggi, dan besar, mukanya selaras dengan bentuk dahinya. Sisa-sisa manusia ini bisa dijumpai pada bangsa Kabyl di Afrika Utara.
(4) Homo Sapiens yang mula-mula menunjukkan ciri-ciri ras Negroid, ditemukan di Asselar sebelah timur laut Timbuktu (di tengah-tengah Gurun Sahara). Fosil manusia ini oleh para ahli palaeoantropologi  diberi nama Homo Sapiens Asselar, diperkirakan hidup 14.000 tahun yang lampau. Ras Negroid ini dianggap oleh para peneliti manusia purba sebagai ras manusia yang paling muda
Dari keempat jenis nenek moyang ras itulah, manusia berevolusi dan berkembang biak menjadi besar serta beragam sifatnya. Masing-masing ras mempunyai spesifikasi dan membentuk satuan sosial sendiri-sendiri.