Senin, 30 November 2009

Perjuangan Kadet Soewoko di Lamongan (Suwandi, S,Pd.,M.Pd.)

Sejarah singkat Pejuang Kadet Soewoko
http://lamongan-kota.blogspot.com/search/label/Pahlawan%20Lamongan
Pada suatu saat di Desa Gumantuk (Kec. Sekaran Kab. Lamongan) dan saat ini perkembangan wilayah sudah masuk dalam Kecamatan Maduran Kab. Lamongan dan pada hari minggu legi tanggal 9 Maret 1949 sekitar jam 17.00 sore telah terjadi pertempuran antara regu Kadet Soewoko yang terdiri dari 7 orang menyerang 1 peleton pasukan Belanda yang terdiri 37 orang yang baru selesai mengangkat kendaraan powernya yang terperosok kedalam sungai ditepi sawah, dalam pertempuran ini telah timbul korban-korban dari kedua belah pihak dari regu Kadet Soewoko yang gugur 4 orang sebagai pahlawan bangsa
Pahlawan bangsa yang berasal dari daerah di Kabupaten Lamongan :
1. KadetSoewoko (dipatungkan)
2. W i d o d o
3. K a e r i
4. L a s i b a n
Menurut berita, Kadet Soewoko ketika terdesak dan dipaksa menyerahkan diri, tiba-tiba melemparkan granat nanasnya sehingga dia dan rekannya rela berkorban. Dan tentara Belanda yang disekitarnya juga tewas.

Salah satu pahlawan kemerdekaan yang cukup dikenal di Lamongan yakni Kadet Soewoko. Dia dikenal dengan kisah perjuangannya yang sangat heroik ketika menghadapi agresi Belanda ke-II pada 1949.Soewoko sebenarnya bukan asli Lamongan, tetapi kelahiran Desa Lumbangsari Kecamatan Krebet Malang pada 1928. Setelah lulus sekolah kadet di Malang, dia kemudian ditugaskan menjadi komandan regu I seksi I kompi I pasukan tamtama Kodim Lamongan.
Dia meninggal pada 9 Maret 1949 dalam suatu pertempuran yang sengit melawan tentara Belanda di wilayah Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran. Berarti dia meninggal pada usia yang baru 21 tahun dan belum menikah.
Berdasarkan catatan sejarah Kodim 0812 Lamongan, kisah nyata yang heroik perjuangan Kadet Soewoko tersebut terjadi pada hari Minggu, 9 Maret 1949 menjelang siang. Ketika sedang beristirahat di sebuah langgar di Desa/Kecamatan Laren, regu Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk kalau ada truk tentara Belanda yang terperosok di parit wilayah Desa Parengan (dulu masuk Kecamatan Sekaran, sekarang masuk Kecamatan Maduran). Truk tersebut mengangkut 12 serdadu Belanda.
Saat itu anggota regu Soewoko berjumlah delapan orang, namun hanya memiliki 7 senjata api peninggalan Jepang. Mereka kemudian sepakat akan menyerang tentara Belanda tersebut. Satu anggotanya bernama Soemarto ditinggal karena jumlah senjata hanya tujuh.Begitu mendekati sasaran tembak, tiba-tiba datang truk power wagon berisi penuh serdadu Belanda untuk membantu truk yang terperosok parit itu. Sehingga kekuatan Belanda menjadi berlipat sekitar 37 orang.
Meski kekuatan lawan berlipat, ternyata regu Soewoko tidak nyiut nyalinya. Mereka tetap melakukan serangan gencar. Beberapa serdadu Belanda langsung terjungkal ditembak regu Soewoko.Dua orang anggota regu berhasil menerobos kepungan musuh, satu orang pura-pura mati dan nahas bagi Soewoko yang tertembak kedua bahunya dan tergeletak tidak mampu melakukan perlawanan.
Beberapa serdadu Belanda kemudian mendekati dan menanyakan namanya dengan bentakan. Soewoko pada saat itu mengaku bernama Soewignyo. Dia kemudian diajak ikut ke pos Belanda di Sukodadi tetapi tidak mau. Dia bahkan berkata ''Saya tidak mau menyerah, bunuh saya..!. Serdadu Belanda marah, kemudian menusuk dada kiri Soewoko dan ditembak pipinya sehingga langsung gugur. Dia bersama tiga anggota regunya yang lain yang gugur dalam pertempuran itu langsung dimakamkan oleh warga setempat di desa itu tanpa dimandikan karena dinilai mati syahid. Adegan heroik itu disaksikan anggota regunya yang pura-pura meninggal. Jenazah Kadet Soewoko bersama tiga temannya tersebut kemudian dipindah ke taman makam pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan.

Senin, 23 November 2009

Pendidikan Patriotisme (Suwandi,S.Pd.,M.Pd.)

Patriotisme secara etimologi berasal dari kata dasar patriot yang artinya pecinta (pembela) tanah air. Maka patriotisme mempunyai makna semangat cinta tanah air yang diwujudkan dengan sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.
Dalam ensiklopedi Indonesia patriotisme diartikan sebagai rasa cinta tanah air dan kesetiaan seseorang kepada tanah air dan bangsanya, kekaguman kepada adat dan kebiasaannya, serta sikap pengabdian demi kesejahteraan tanah airnya. Di dalamnya juga terkandung makna rasa persatuan dan kesatuan bagi bangsanya.
Secara sederhana patriotisme adalah rasa cinta pada tanah air yang membuahkan sikap pengabdian dan pengorbanan jiwa, raga, materi, dan seluruh kemampuan yang dimilikinya demi kejayaan dan kesejahteraan tanah airnya. Dari pemahaman tersebut seringkali disebut secara bersamaan dengan kata nasionalisme. Kata nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dari suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Dari pemahaman ini istilah patriotisme dan nasionalisme saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan Hans Wehr memberikan makna sepadan antara dua istilah tersebut. Karena qaummiyah yang artinya kebangsaan disejajarkan dengan kata wathoniyyah yang artinya cinta tanah air.
Memahami paparan diatas dapat dirumuskan sebuah pengertian pendidikan patriotisme sebagai: bimbingan dan bantuan yang diberikan secara sadar melalui interaksi yang komunikatif antara pendidik (ustadz) dan peserta didik (murid) dalam rangka pembentukan patriot-patriot bangsa yang siap mengabdi dan berkorban untuk kejayaan dan kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Pendidikan Patriotisme Dalam Prespektif Islam
Perasaan cinta tanah air diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan dianjurkan oleh Rosulullah SAW terbukti dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dari Anas: Rosulullah SAW bersabda “Cinta Arab sebagian dari iman dan yang membencinya adalah munafik”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa patriotisme sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebab bila dicermati, kata “Arab” tersebut bermakna bangsa Arab, bahasa Arab, dan tanah (air) Arab. Walaupun tidak ditegaskan apakah Hadits itu bermakna bangsa, bahasa, dan tanah air. Makna dibalik pemahaman ini bahwa bangsa, bahasa, dan tanah air melekat pada kata “Arab” yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Dalam kaitannya dengan hidup berbangsa dan bernegara, ada dua makna yang terkandung dalam hadits tersebut: (1) jika anjuran Nabi itu ditujukan kepada orang Arab, berarti hadits tersebut bertujuan menanamkan patriotisme, dan (2) jika hadits itu ditujukan kepada seluruh ummat Islam, berarti hadits tersebut mengajak mencintai semua bangsa untuk saling mencintai. Dengan kata lain yang bukan bangsa Arab (‘Ajam) mencintai bangsa Arab, yang bangsa Arab mencintai bukan bangsa Arab, sebab ummat Islam tidak hanya terdiri dari orang Arab saja.
Patriotisme berbeda dengan fanatisme kesukuan yang jelas dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zubayr Ibnu Mat’am : “Bukan golonganku orang yang mengajak berkelompok (kesukuan / ashobiyyah) dan bukan golonganku orang yang berperang membela kelompoknya dan bukan golonganku orang yang mati karena kelompoknya”.
Sikap berkelompok atau ashobiyah (kesukuan) yang pada ujungnya berakibat pada perpecahan. Sedangkan agama Islam sangat menentang adanya perpecahan atau berpecah belah, sebagaimana firman Allah :”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS 3 Ali ‘Imron:103).
Dengan demikian fanatisme kelompok diangap dosa dan tidak dibenarkan dalam agama Islam karena sangat potensial menyebabkan perpecahan, bahkan fanatisme kelompok dapat mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu persatuan bangsa dan negara serta agama Islam.
Sementara itu patriotisme, bukanlah semangat kelompok kecil melainkan rasa cinta tanah air yang penuh dengan anjuran persatuan dan kesatuan. Maka patriotisme amat memungkinkan sebagai sarana (wasilah) membangun persatuan dan kesatuan dalam sebuah komponen besar pemerintahan yang sah, meskipun didalamnya ada berbagai suku dan adat istiadat.
Adapun tipe patriotisme yang dimiliki oleh ummat muslim adalah seseorang yang menjadi teladan bagi rakyat negaranya, apapun agama yang dianutnya. Mereka harus saling bekerjasama dalam segala aktivitas guna mempertahankan kedaulatan, mengembangkan ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan segala sumber daya yang dimiliki oleh tanah air (Rashid Ridho, 1994).
Pendidikan patriotisme dimaksudkan untuk penanaman rasa cinta tanah air pada putra-putri bangsa melalui lembaga pendidikan sehingga membentuk patriot bangsa yang bertanggungjawab untuk mewujudkan kedaulatan, kesejahteraan, dan kejayaan negara sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dibekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai untuk membangun negaranya.

*) Penulis adalah aktivis Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Surabaya

Minggu, 22 November 2009

DINAMIKA PEMERINTAHAN ORDE BARU (Oleh Suwandi, S.Pd.,M.Pd)

A. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Orde Baru
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.
Surat Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat perintah yang beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966 ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna menjamin keamanan dan ketertiban negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S/PKI. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.

2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI negara dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Sebagai negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai menyiapkan menghadapi pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden Soeharto dengan surat keputusan nomor 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum sudah ada dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu adalah (1) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3) Nahdlatul Ulama; (4) Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai Katolik; (6) Partai Kresten Indonesia; (7) Partai Muslimin Indonesia; (8) Partai Nasional Indonesia; (9) Partai Syarikat Islam Indonesia; dan (10) organsiasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanankan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupakan melalui program pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang kakan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU
Berkuasanya Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa Indonesia melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan Orde Baru berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga langkah-langkah yang diambil adalah mencapai stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk hasil Sidang Umum IV MPRS yang mengambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru.
Kabinet baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Tugas ini yang dikelak terkenal dengan sebutan ”Dwi Darma Kabinet Ampera”. Sedangkan program kerja terkenal dengan sebutan Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: (1) memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan; (2) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No. XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada 21 Maret 1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma dan Catur Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan antar lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945


C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU
1. Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi, menyelamatkan keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan rakyat. Dengan membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966 dan tingkat inflasi 650 % setahun membuat pemerintah tidak dapat melaksanakan pembangunan dengan segera, tetapi harus didahulukan dengan melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Kemudian MPRS menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah secara bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan program jangka pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi; (2) pencukupan kebutuhan pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4) peningkaan kegiatan ekspor.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting pada bulan Oktober 1966 yang memuat pokok usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang berimbang untuk menghilangkan salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam anggaran belanja; (2) pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif meliputi pangan, ekspor, prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran utang-utang luar negeri serta usaha untuk mendapatkan kredit baru; (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan pada luar negeri untuk membuka alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.

2. Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu kebijakan stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan tujuan menertibkan penggunaan keuangan negara.
Prioritas utama yang dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak negara dan menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah dicapai oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang negara sebesar US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp. 494.947.761,37; (2) dapat mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3) berhasil pula mengembalikan perak seberat 100 kg.
Tindakan pemerintah untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1) mengadakan operasi pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai sejauhmana perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak; (2) penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk pengeluaran yang konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi perusahaan-perusahaan; (3) kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan. Kredit ekspor diberikan apabila bank yakin akan terlangsungnya ekspor.
Usaha mencukupi kebutuhan pangan dilakukan pemerintah dengan memperhatikan peningkatan produksi pangan di dalam negeri khususnya beras, untuk meningkatkan produksi beras diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal (inmas) yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul seperti jenis padi PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan merupakan keharusan serta penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi pangan pada tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan bea masuk untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 % menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Pada tanggal 19-30 September 1966 di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan Indonesia dengan para negara kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat, Belanda, Amerika Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini pemerintah Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang, tetapi perlu untuk mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan sebagainya agar keadaan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Para negara kreditor menanggapi dengan serius apa yang telah dikemukakan pemerintah Indonesia maka perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan lagi dalam pertemuan di Paris-Perancis yang menghasilkan: (1) utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda pembayarannya dengan syarat yang sama lunaknya dengan utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968. Perundingan antara Indonesia dengan para kreditor itu kemudian dikenal dengan istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya IGGI (Inter Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan pertemuan Paris Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan memberi bantuan dengan syarat lunak. Hasilnya memperoleh bantuan untuk melangsungkan pembangunan dan penangguhan serta memberi keringanan syarat-syarat pembayaran kembali utang-utang peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman dari luar negeri digunakan untuk tiga macam hal yang disebut dengan Bukti Ekspor (BE), yaitu : (1) impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3) pangan. Bukti Ekspor dapat digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku cadang, pupuk, dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan devisa pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif. Bukti Ekspor yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu dijual oleh pemerintah dan hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja Pemerintah dan kemudian dipakai untuk anggaran pembangunan. Sehingga anggaran pembangunan dalam bentuk rupiah itu berasal dari penjualan barang-barang konsumtif. Dengan demikian bantuan luar negeri dismpaing untuk mengimpor barang-barang yang perlu dan hasil penjualannya dipakai pula untuk membiayai pembangunan pula.

Jumat, 13 November 2009

MASA REFORMASI DI INDONESIA (1998 - Sekarang)

A.Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia
Setelah Perang Dunia II berakhir ternyata muncul dua negara super power di dunia yang saling berebut pengaruh di berbagai kawasan dunia. Dua kekuatan itu adalah yaitu Amerika Serikat yang berhaluan demokrasi-kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan sosialis-komunis.
Perang dingin berdampak pada peta perpolitikan dunia pada saat itu, sehingga dunia seolah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: negara-negara Blok Barat yang menganut paham demokrasi, negara-negara Blok Timur yang menganut paham komunis dan negara-negara Non Blok yang tidak memihak Blok Barat dan tidak memihak Blok Timur.
1.Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pada Masa Perang Dingin
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia lebih condong kepada negara-negara Blok Barat dalam rangka mendapatkan pinjaman dana dari negera-negara tersebut untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang hampir mengalami kebangkrutan. Dengan adanya pinjaman ini secara tidak langsung Indonesia mulai dipengaruhi oleh Blok Barat yang tercermin dari kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung pro-Barat, walaupun tetap berusaha untuk netral dengan tidak memihak salah satu blok yang ada.
2.Peran Lembaga Keuangan Internasional Terhadap Pemerintah Orde Baru
Pada masa Orde Baru setahap demi setahap bisa keluar dari keterpurukan ekonomi melalui bantuan dari negara-negara Barat. Perbaikan ekonomi dilakukan dalam bentuk pembangunan yang disebut dengan rencana pembangunan lima tahun. Adapun negara-negara Barat yang membantu Indonesia tersebut dalam bentuk konsorsium yang dinamakan IGGI (Inter-Gouvernmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Italia, dan Swiss. Negara-negara maju tersebut pada tanggal 23-24 Pebruari 1967 diadakan pertemuan di Amsterdam (Belanda) menyepakati membentuk badan IGGI untuk memberi kredit kepada Indonesia dengan bantuan pinjaman syarat-syarat ringan.

B.Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat melaksanakan pembangunan sehingga mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Mengalawai perjalannya pada dasawarsa 60-an rakyat sangat menderita pelan-pelan keberhasilan pembangunan melalui tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita) sedikit demi sedikit kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima kasih kepada pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden Soeharto diangkat menjadi "Bapak Pembangunan ".
Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka kemajuan Indonesia temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Rakyat mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang tidak sehat ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Protes dan kritik masyarakat seringkali dilontarkan namun pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju kepada kebijaksanaan pemerintah selalu dituduh sebagai "PKI", subversi, dan sebagainya.
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak perusahaan yang terpaksa melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan rakyat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat mengadakan demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani meneriakkan reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak mendapat tanggapan rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie.
2.Krisis Ekonomi
Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997 berimbas pada Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia temyata belum kuat untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1 Agustus 1997. Tercatat di bulan Desmeber 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan mencapai angka Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997.
Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 % sebagai akibat lesunya ikiim bisnis. Kondisi moneter mengalami keterpurukan dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Maret 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (K.LBI), temyata tidak membawa hasil sebab pinjaman BLBI terhadap bank bermasalah tersebut tidak dapat mengembalikan. Dengan demikian pemerintah harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya kepercayaan dunia intemasional mulai menurun. Krisis moneter ini akhimya berdampak pada krisis ekonomi sehingga menghancurkan sistem fundamental perekonomian Indonesia.
a.Utang Negara Republik Indonesia.
Penyebab krisis diantaranya adalah utang luar negeri yang sangat besar, terhitung bulan Pebruari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat :
utang swasta nasional Rp. 73,962 miliar dolar AS + utang pemerintah Rp. 63,462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS. Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta (HLNS), Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6 Pebruari 1998.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal harganya. Mereka tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Rakyat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi.
c. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.
Walaupun praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme ini telah merugikan banyak pihak, termasuk negara tapi tidak dapat dihentikan karena dibelakangnya ada suatu kekuatan yang tidak tersentuh hukum.
d. Politik Sentralisasi
Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat menentukan, sebaliknya pemerintah daerah tidak 'punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan pemerintah daerah. Akibatnya mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya (Papua).
Proses sentralisasi bisa dilihat adanya pola pemberitaan pers yang Jakarta sentries. Terjadinya banjir informasi dari Jakarta (pusat) sekaligus dominasi opini dari pusat. Pola pemberitaan yang cenderung bias Jakarta, terutama di halaman pertama pers. Kecenderuangan ini sangat mewamai pola pemberitaan di halaman pertama pers di daerah.
3.Krisis Politik
Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung fmansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas. Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum peristiwa G30S/PKI tepatnya lahir pada tanggal 20 Oktober 1964. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun kritik dari infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.
K-emenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan para peninjau asing dalam pemilu yang tidakjujur dan adil (jurdil) penuh ancaman dan intimidasi terhadap para pemilih di pedesaan. Dengan diikuti dukungan terhadap Jenderal (Pum) Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR tahun 1998 temyata mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi presiden untuk periode 1998-2003.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya menimbulkan permasalahan masa pemerintahan Orde Barn, kedaulatan rakyat ada ditangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang pihak penguasa. Kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya MPR dilaksanakan de jure secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme).
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Gerakan reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang politik yang menjadi sumber ketidakadilan, yaitu : (1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, Tugas, dan wewenang DPR/MPR; (3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya; (4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang organisasi masa.
4. Krisis Hukum.
Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan eksekutif, tapi Kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian pengadilan sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Reformasi diperlukan aparatur penegak hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, ajaran-ajaran hukum, dan bentuk praktek hukum lainnya. Juga kesiapan hakim, penyidik dan penuntut, penasehat hukum, konsultan hukum dan kesiapan sarana dan prasarana.
5.Krisis Kepercayaan
Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun terang-terangan pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan sudah berlangsung lama sehingga disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia

C.Gerakan Reformasi Indonesia
Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Dengan semangat reformasi, rakyat menghendaki pergantian pemimpin bangsa dan negara sebagai langkah awal, yang menjadi pemimpin hendaknya berkemampuan, bertanggungjawab, dan peduli terhadap nasib bangsa dan negara.
Reformasi adalah pembaharuan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian reformasi merupakan penggantian susunan tatanan perikehidupan lama menjadi tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan.
Reformasi yang digalang sejak 1998 merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru, maka diperlukan agenda reformasi yang jelas dengan penetapan skala prioritas, pentahapan pelaksanaan, dan kontrol agar tepat tujuan dan sasaran.
1. Tujuan Reformasi
Atas kesadaran rakyat yang dipelopori mahasiswa, dan cendikiawan mengadakan suatu gerakan reformasi dengan tujuan memperbaharui tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, bemegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
2. Dasar Filosofi Reformasi
Agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa diantaranya sebagai berikut: (1)adili Soeharto dan kroni-kroninya; (2) amandemen Undang-Undang dasar 1945; (3) penghapusan dwifungsi ABRI; (4) otonomi daerah yang seluas-luasnya; (5) Supermasi hukum; (6) pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Kronologi Reformasi
Kabinet Pembangunan VII dilantik awal Maret 1998 dalam kondisi bangsa dan negara krisis, yang mengundang keprihatinan rakyat. Memasuki bulan Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah melakukan unjuk rasa dan aksi keprihatinan yang menuntut: (1) turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (3) turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan.
Secara kronologi terjadinya tuntutan reformasi sampai dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan sebagai berikut: (1) pada tanggal 10 Mei 1998 perasaan tidak puas terhadap hasil pemilu dan pembentukan Kabinet Pembangunan VII mewarnai kondisi politik Indonesia. Kemarahan rakyat bertambah setelah pemerintah secara sepihat menaikkan harga BBM. Namun keadaan ini tidak menghentikan Presiden Soeharto untuk mengunjungi Mesir karena menganggap keadaan dalam negeri pasti dapat diatasi; (2) pada 12 Mei 1998 semakin banyak mahasiswa yang berunjuk rasa membuat aparat keamanan kewalahan, sehingga mereka harus ditindak lebih keras, akibatnya bentrokan tidak dapat dihindari. Bentrokan aparat keamanan dengan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang berunjuk rasa tanggal 12 Mei 1998 mengakibatkan empat mahasiswa tewas tertembak yaitu Hery Hartanto, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan serta puluhan mahasiswa dan masyarakat mengalami luka-luka.Peristiwa ini menimbulkan masyarakat berduka dan marah sehingga memicu kerusuhan masa pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitamya. Penjarahan terhadap pusat perbelanjaan, pembakaran toko-toko dan fasilitas lainnya; (3) pada 13 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan ikut berduka cita ats terjadinya peristiwa Semanggi. Melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan presiden menyatakan atas nama pemerintah tidak mungkin memenuhi tuntutan para reformis di Indonesia; (4) pada 15 Mei 1998 Presiden Soeharto tiba kembali di Jakarta, oleh karena itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyiagakan pasukan tempur dengan peralatannya di segala penjuru kota Jakarta; (5) Presiden Soeharto menerima ketatangan Harmoko selaku Ketua DPR/MPR RI yang menyampaikan aspirasi masyarakat untuk meminta mundur dari jabatan Presiden RI; (6) pada 17 Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR RI untuk meminta Soeharto turun dari jabatan presiden Republik Indonesia; (7) pada 18 Mei 1998 Ketua DPR/MPR RI Harmoko di hadapan para wartawan mengatakan meminta sekali lagi kepada Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden RI; (8) pada 19 Mei 1998 beberapa ulama besar, budayawan, dan toko cendiriawan bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara membahas reformasi dan kemungkinan mundurnya Presiden Soeharto, mereka ini adalah : Prof. Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), KH. Abdurrahman Wahid (PB NU), Emha Ainun Nadjib (Budayawan), Nurcholis Madjid (Direktur Universitas Paramadina Jakarta), Ali Yafie (Ketua MUI), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Guru Besar Universitas Indonesia), K.H. Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono(Muhammadiyah), Ahmad Bagja (NU), K.H. Ma’ruf Amin (NU). Sedangkan di luar aksi mahasiswa di Jakarta agak mereda saat terjadi kerusuhan masa, tapi setelah kejadian itu pada tanggal 19 Mei 1998 mahasiswa yang pro-reformasi berhasil menduduki gedung DPR/MPR untuk berdialog dengan wakil rakyat walaupun mendapat penjagaan secara ketat aparat keamanan; (9) pada 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berencana membentuk Komite Reformasi untuk mengkompromikan tuntutan para demonstran. Namun, komite ini tidak pernah menjadi kenyataan karena dalam komite yang mayoritas dari Kabinet Pembangunan VII tidak bersedia dipilih. Pada suasana yang panas ini kaum reformis diseluruh tanah air bersemangat untuk menuntur reformasi dibidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk diminta pertimbangan dalam rangka membentuk "Komite Reformasi" yang diketuai Presiden. Namun komite ini tidak mendapat tanggapan sehingga presiden tidak mampu membentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi; (10) dengan desakan mahasiswa dan masyarakat serta demi kepentingan nasional, tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto meleetakkan kekuasaan didepan Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi pengganti presiden; (11) pada 22 Mei 1998 setelah B.J. Habibie menerima tongkat estafet kepemimpinan nasional maka dibentuk kabinet baru yang bernama Kabinet Reformasi Pembangunan.

D. Masa Pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999)
Tugas B.J. Habibie adalah mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini dilakukan oleh presiden untuk menjawab tantangan era reformasi.
 A. Dasar Hukum Habibie Menjadi Presiden.
Naiknya   Habibie   menggantikan   Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan     hal     itu     konstitusional     dan inskonstitusional.Yang    mengatakan    konstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945, "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Adapun yang mengatakan inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD 1945, "Sebelum Presiden meangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR atau DPR". Secara hukum materiel Habibie menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun secara hukum  formal (hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hokum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi konstitusional. Saat itu DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, maka harus ada alas an yang kuat dan dinyatakan sendiri oleh DPR.
B. Langkah-langkah Pemerintahan Habibie.
1. Pembentukan Kabinet.
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-PoIri), PPP, Golkar, dan PDI.
2. Upaya Perbaikan Ekonomi.
Dengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah "Krisis Ekonomi"   Presiden B.J. Habibie  berusaha  melakukan  langkah-langkah perbaikan, antara lain :
a) Merekapitalisasi perbankan.
b) Merekonstruksi perekonomian nasional.
c) Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
d) Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawahRp. 10.000,00
e) Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
3. Reformasi di Bidang Politik.
Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan dan merencakan pemilu yang luber dan jurdil, sehingga dapat dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betui representatif. Tindakan nyata dengan membebaskan narapidana politik diantaranya yaitu : (1) DR. Sri Bintang Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI) dan mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto. (2) Mochtar Pakpahan pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan dalam tahun 1994.
4. Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Kebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang masa Habibie dibuka selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas tertentu unjuk rasa merupakan manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan mempertanyakan mengapa para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili. Untuk menghadapi para pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang " kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ".
Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti keadaan menjadi tertib seperti yang   diharapkan. Seringkali terjadi pelanggaran oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, akibatnya banyak korban dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Hal ini disebabkan oleh : (1) Undang-undang ini belum begitu memasyarakat. (2) Pengunjuk rasa memancing permasalahan, dan membawa senjata tajam. (3) Aparat keamanan ada .yang terpancing oleh tingkah laku   pengunjuk   rasa   sehingga   tidak   dapat mengendalikan diri. (4) Ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan suasana panas agar negara menjadi kacau.
Krisis ini merupakan momentum koreksi historis bukan sekedar lengsemya Soeharto dari kepresidenan tapi yang paling penting membangun kelompok sipil lebih berpotensi untuk membongkar praktek KKN, otonomi daerah, dan lain-lainnya. Dimana krisis multidimensi ini berkaitan dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik yaitu kurang memperhatikan tuntutan otonomi daerah sebab sebab segala kebijakan untuk daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat.
5. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegas-gegas melakukan reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama ini. Dengan melakukan reformasi diri melalui rumusan paradigma baru yaitu menarik diri dari berbagai kegiatan politik.
Pada era reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI berubah menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan udara.
6. Reformasi di Bidang Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan bidang hukum namun dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan karakter elitnya. Misalnya UU Ketenagakerjaan tetap saja adanya dominasi penguasa. DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya memihak  penguasa  bukan   memihak  kepentingan masyarakat.
Prasyarat untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang melahirkan  keadaan  demokratis  dan  DPR yang representatif mewakili kepentingan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupaka'n kunci untuk pembongkaran dan refbrmasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu : substansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen. Mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat kreatifitas masyarakat. Adanya praktek KKN sebagai imbas dari adanya aturan hukum yang tidak adil dan merugikan masyarakat.
7. Sidang Istimewa MPR
Salah satu jalan  untuk  membuka  kesempatan menyampaikan aspirasi rakyat ditengah-tengah tuntutan reformasi total pemerintah melakasanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal   10-13  Nopember  1998,  diharapkan  benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat dengan perdebaaatan yang lebih segar, dan terbuka.
Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung DPR/MPR Senayan suasana kian memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan massa sehingga anggota MPR yang bersidang mendapat tekanan untuk bekerja lebih keras, serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.
Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan, yaitu :
a. Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang : Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
b. Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.
c. Tap MPR No. XH/MPR/1998 tentang : Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indinesia.
d. Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
e. Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang : Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
f. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang : Hak Asasi Manusia.
g. Tap MPR No. VII/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Tambahan atas Tap MPR Nomor : I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah dengan ketetapan MPR yang terakhirNomor: I/MPR/1998.
h. Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Penambahan atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
i. Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum.
j. Tap MPR No. IX/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN.
k. Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam Rangka Penyukseskan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
l. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai DasarNegara.
8. Pemilihan Umum 1999
Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di Indonesia yaitu dilaksanakan suatu pemilihan urnum supaya dapat keluar dari krisis diperlukan pemimpin yang dipercaya rakyat. Asas pemilihan urnum tahun 1999 adalah sebagai berikut: (1). Langsung, Pemilih mempunyai hak secara langsung memberi suara sesuai kehendak nuraninya tanpa perantara. (2) Umum, bahwa semua warga negara tanpa kecuali yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia 17 tahun berhak memilih dan usia 21 tahun berhak dipilih. (3) Bebas, tiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun/pihak manapun. (4) Rahasia, tiap pemilih dijamin pilihannya tidak diketahui oleh pihak manapun dengan cara apapun (5) Jujur,   semua   pihak   yang   terlibat   dalam penyelenggaraan pemilu (penyelenggara/pelaksana, pemerintah, pengawas, pemantau, pemilih, dan yang terlibat secara langsung) harus bersikap dan bertindak jujur yakni sesuai aturan yang berlaku. 6. Adil, bahwa pcmilili dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan pihak manapun. Sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J. Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan umum. Maka dicabutlah lima paket undang-undang tentang politik yaitu UU tentang (1) Pemilu, (2) Susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang DPR/MPR, (3) Parpol dan Golongan Karya, (4) Referendum, (5) Organisasi Masa. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru yang diratifikasi pada tanggal 1 Pebruari 1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu : (1) UU Partai Politik, (2) UU Pemilihan Umum, dan (3) UU Susunan serta Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Adanya undang-undang politik tersebut menggairahkan kehidupan politik di Indonesia, sehingga muncul partai-partai politik yangjumlahnya cukup banyak, tidak kurang dari 112 partai politik yang lahir dan mendaftar ke Departemen Kehakinam namun setelah diseleksi hanya 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilu. Pelaksana pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdiri atas wakil pemerintah dan parpol peserta pemilu.
Pemungutan suara dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Juni 1999 berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Dalam perhitungan akhir hasil pemilu ada dua puluh satu partai politik meraih suara untuk menduduki 462 kursi anggota DPR, yaitu :                               
1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PD1-P)     : 153 kursi.
2) Partai Golongan Karya ( Partai Golkar)                   : 120 kursi.
3) Partai Persatuan Pembangunan (PPP)                      : 58 kursi.
4) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)                           : 51 kursi.
5) Partai Amanat Nasional (PAN)                                : 34 kursi.
6) Partai Bulan Bintang (PBB)                                     : 13 kursi
7) Partai Keadilan (PK)                                               : 7 kursi
8) Partai Nahdiarul Ummah (PNU)                              : 5 kursi
9) Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB)                 : 5 kursi
10) Partai Keadilan Persatuan (PKP)                           : 4 kursi
11) Partai Demokrasi Indonesia                                   : 2 kursi
12) Partai Kebangkitan Ummat (PKU)                        : 1 kursi  
13) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)                   : 1 kursi
14) Partai Politik Islam Indonesia Masyumi                  : 1 kursi
15) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI): 1 kursi 
16)PNI-MasaMarhaen                                               : 1 kursi
17)PNI-FrontMarhaen``                                             : 1 kursi
18) Partai Persatuan (PP)                                            : 1 kursi
19) Partai Daulat Rakyat (PDR)                                  : 1 kursi
20) Partai Bhineka Tunggal Ika (FBI)                          : 1 kursi
21) Partai Katholik Demokrat (PKD)                          : 1 kursi
22) TNI/POLRI                                                        : 46 kursi

9. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum) Rudini menetapkan jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999 yang terdiri dari anggota DPR (462 orang wakil dari parpol dan 38 orang
TNI/PoIri), 65 orang wakil-wakil Utusan Golongan, dan 135 orang Utusan Daerah. Maka MPR melaksanakan Sidang Umum MPR Tahun 1999tanggal 1-21 Oktober 1999. Sidang mengesahkan Prof. DR. H. Muhammad Amin Rais, MA (PAN) sebagai Ketua MPR, dan Ir. Akbar Tandjung (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR.
Dalam pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh fraksi-fraksi di MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P), Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB), Namun sebelum pemilihan Yusril mengundurkan diri. Hasil pemilihan dilaksanakan secara voting KH. Abdurrahman Wahid mendapat 373 suara, Megawati mendapat 313 suara, dan 5 abstein. Dalam pemilihan wakil presiden dengan calon Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan DR. Hamzah Haz (PPP) dimenangkan    oleh Megawati Soekamoputri.
Pada tanggal 25 Oktober  1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet Persatuan Nasional, yang terdiri dari: 3 Menteri Koordinator (Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra), 16 menteri yang memimpin departemen, 13 Menteri Negara.
Pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini tidak dapat berlangsung lama pada akhir Juli 2001 jatuh lewat Sidang Istimewa MPR akibat perseteraunnya dengan DPR dan kasus Brunaigate serta Buloggate, kemudian melalui Sidang Istimewa MPR yang kemudian melantik Wakil Presiden Hj.Megawati Sukamoputri menjadi Presiden RI ke-5 (2001 - 2004) dan DR. H.Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi Wakil Presiden RI ke-9 (2001 - 2004).

Selasa, 10 November 2009

PAMOTAN (SAMBENG-LAMONGAN) DAERAH SWATANTRA ZAMAN MAJAPAHIT

Pada zaman dahulu Lamongan merupakan Pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Panjalu, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada di Ujung Galuh, Canggu dan kambang Putih ( Tuban). Setelah itu tumbuh pelabuhan Sedayu Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai , sebagai penyambung hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri.
Zaman Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur, Di Lamongan berkembang Kerajaan kecil Malawapati ( kini dusun Melawan desa Kedung Wangi kecamatan Sambeng ) dipimpin Raja Agung Angling darma dibantu Patih Sakti Batik Maadrim termasuk kawasan Bojonegoro kuno. Saat ini masih tersimpan dengan baik, Sumping dan Baju Anglingdarma didusun tersebut. Di sebelah barat berdiri Kerajaan Rajekwesi di dekat kota Bojonegoro sekarang.
Pada waktu Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350 -1389) kawasan kanan kiri Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Merupakan daerah penyangga ekonomi Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih. Wilayah ini disebut Daerah Swatantra Pamotan dibawah kendali Bhre Pamotan atau Sri Baduga Bhrameswara paman Raja Hayam Wuruk ( Petilasan desa Pamotan kecamatan Sambeng ), sebelumnya
Di bawah kendali Bhre Wengker ( Ponorogo ). Daerah swatantra Pamotan meliputi 3 kawasan pemerintahan Akuwu , meliputi Daerah Biluluk (Bluluk) Daerah Tenggulunan (Tenggulun Solokuro) , dan daerah Pepadhangan (Padangan Bojonegoro).
Menurut buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pengkaderan para cantrik yang mondok di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa (desa Blawi Karangbinangun) , di Pacira ( Sendang Duwur Paciran), di Klupang (Lopang Kembangbahu) dan di Luwansa ( desa Lawak Ngimbang). Desa Babat kecamatan Babat ditengarahi terjadi perang Bubat, sebab saat itu babat salah satu tempat penyeberangan diantar 42 temapt sepanjang aliran bengawan Solo. Berita ini terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Musium Gajah Jakarta, berupa lempengan tembaga serta 39 gurit di Lamongan yang tersebar di Pegunungan Kendeng bagian Timur dan beberapa temapt lainnya.
Menjelang keruntuhan Mojopahit tahun 1478M, Lamongan saat itu dibawah kekuasaaan Keerajaan Sengguruh (Singosari) bergantian dengan Kerajaan Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan kawasan Gunung Kendeng Wetan diperintah oleh Demung, bertempat disekitar Candi Budha Syiwa di Mantup. Setelah itu diperintah Rakrian Rangga samapi 1542M ( petilasan di Mushalla KH.M.Mastoer Asnawi kranggan kota Lamongan ). Kekuasaan Mojopahit di bawah kendali Ario Jimbun (Ariajaya) anak Prabu Brawijaya V di Galgahwangi yang berganti Demak Bintoro bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah ( Raden Patah ) 1500 – 1518, lalu diganti anaknya, Adipati Unus 1518 -1521 M , Sultan Trenggono 1521 – 1546 M.
Dalam mengembangkan ambisinya, sultan Trenggono mengutus Sunan Gunung Jati ( Fatahilah ) ke wilayah barat untuk menaklukkan Banten, Jayakarta, danCirebon. Ke timur langsung dpimpin Sultan sendiri menyerbu Lasem, Tuban dan Surabaya sebelum menyerang Kerajaan Blambangan ( Panarukan). Pada saat menaklukkan Surabaya dan sekitarnya, pemerintahan Rakryan Rangga Kali Segunting ( Lamong ), ditaklukkan sendiri oleh Sultan Trenggono 1541 . Namun tahun 1542 terjadi pertempuran hebat antara pasukan Rakkryan Kali Segunting dibantu Kerajaan sengguruh (Singosari) dan Kerajaan Kertosono Nganjuk dibawah pimpinan Ki Ageng Angsa dan Ki Ageng Panuluh, mampu ditaklukkan pasukan Kesultanan Demak dipimpin Raden Abu Amin, Panji Laras, Panji Liris. Pertempuran sengit terjadi didaerah Bandung, Kalibumbung, Tambakboyo dan sekitarnya.
Tahun 1543M, dimulailah Pemerintahan Islam yang direstui Sunan Giri III, oleh Sultan Trenggono ditunjuklah R.Abu Amin untuk memimpin Karanggan Kali Segunting, yang wilayahnya diapit kali Lamong dan kali Solo. Wilayah utara kali Solo menjadi wilayah Tuban, perdikan Drajat, Sidayu, sedang wilayah selatan kali Lamong masih menjadi wilayah Japanan dan Jombang. Tahun 1556 M R.Abu Amin wafat digantikan oleh R.Hadi yang masih paman Sunan Giri III sebagai Rangga Hadi 1556 -1569M Tepat hari Kamis pahing 10 Dzulhijjah 976H atau bertepatan 26 mei 1569M, Rangga Hadi dilantik menjadi Tumenggung Lamong bergelar Tumenggung Surajaya ( Soerodjojo) hingga tahun 1607 dan dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan kecamatan Lamongan dikenal dengan Makam Mbah Lamong.

Sabtu, 07 November 2009

Candi Jalatunda (Suwandi, S.Pd.,M.Pd)

Candi Jalatunda, candi sekaligus patirtan atau pemandian kuno yang dibangun pada tahun 899-977 Masehi. Masih tetap berfungsi dan mengalirkan airnya hingga sekarang. Terletak di kaki gunung Penanggungan tetapnya disisi barat, 7 kilometer dari arah sebelah utara Trawas.

Candi ini hanya satu diantara puluhan candi (konon mencapai 81 candi) yang berserakan sampai ke puncak Gunung Penanggungan.

Pada waktu Kerajaan Mataram Kuno dari wangsa Isana dengan raja bernama Dharmawangsa Teguh (991-1016 Masehi) hancur akibat serangan kerajaan Wurawari dari daerah Banyumas di Hulu Sungai Serayu (Jawa Tengah) dalam tahun 1016 Masehi, menentu raja yang bernama Airlangga beserta istrinya mengungsi ke Wanagiri dengan diiringi Rakryan Narotama sahabat setianya. Setelah Airlangga menjadi raja Mataram (1016-1042) lalu mengundurkan diri menjadi pertapa pada tahun 1042 Masehi dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakamkan di Tirtha, tempat pemandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah timur Gunung Penanggungan.

Tentang Candi Jalatunda masyarakat sekitarnya percaya bahwa air yang mengalir di pancuran pada patirtan ini adalah amerta (air keabadian) karena berasal dari Gunung Penanggungan yang dianggap sebagi puncak alam semesta, yakni swarloka tempat bersemayamnya para dewa. Anggapan masyarakat ini diperkuat oleh oleh adanya peninggalan Hindu ini dengan adanya arca Wisnu yang berada dibagian tengah pemandian atau pathirtan ini yang dianggap sebagai dewa kesejahteraan manusia. Dalam konsep agama Hindu bahwa Dewa Wisnu selaku dewa pemelihara yang melangsungkan kehidupan alam semesta. Dewa ini mempunyai kendaraan berupa burung garuda bernama suparna. Didalam kitab Rig Weda yang dimaksud suparna adalah atribut matahari yang menunjukkan bahwa asal-usul Wisnu sebagai Dewa Matahari yang memiliki “sakti” atau istri bernama Laksmi atau Sri yakni dewi kebahagiaan. Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, penyelenggara dan pelindung dunia digambarkan selalu dalam keadaan siap untuk memberantas marabahaya yang mengancam keselamatan dunia. Dalam upaya mengatasi marabahaya yang merajalela dan kehancuran dunia, maka Wisnu akan turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan (awatara) sesuai dengan jenis marabahaya yang ada. Diceritakan ada 10 awatara (dasawatara). Contoh, awatara ke-10 yang konon belum terjadi Wisnu turun ke dunia menjelma sebagai Kalki-awatara ketika dunia akan mengalami suasana yang kacau balau tanpa diatasi, sehingga keselamatan dunia terancam akan kemusnahan. Dalam situasi yang demikian Wisnu akan turun dan menjelma ke dunia sebagai Kalki dengan mengendarai kuda putih bersenjatakan pedang yang terhunus. Kemudian Kalki dengan segala kemampuannya menyelamatkan, menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan dunia beserta isinya.

Masyarakat di Mojokerta dan sekitarnya juga percaya bahwa air di Jalatunda itu air yang bertuah. Menurut mitos yang berkembang orang yang minum dan mandi dari jaladwara (pancuran air) itu dapat membuat orang jadi awet muda dan bisa membebaskan dirinya dari pikiran yang kacau.

Masyarakat Hindu Bali hingga kini masih sering melalukan upacara untuk membersihkan diri dari dosa pada hari-hari tertentu di Patirtan Jalatunda. Bahkan ada yang membawa tirta amerta (air keabadian) ini dibawa ke Bali untuk upacara keagamaan.

ASAL MULA BENJENG (Oleh Supa'i)

Kecamatan Benjeng berada di wilayah selatan Kabupaten Gresik, tepatnya arah Barat Daya. Dari Gresik kota berjarak sekitar 28 km. Dengan batas wilayah sebelah barat Kecamatan Balongpanggang, sebelah timur Kecamatan Cerme, sebelah utara Kecamatan Duduksampeyan, sebelah selatan Kecamatan Kedamean.
Terletak di titik koordinat 07 15’ 46,9” Lintang Selatan dan 112 29’ 54,3 Bujur Timur. Memiliki luas wilayah 6.128,43 Ha. Berada di ketinggian + 4 meter di atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2009 ini, Kecamatan Benjeng membawahi 23 administrasi pemerintahan desa, yang memiliki 79 dusun, 104 RW dan 331 RT.
Sebagian besar wilayah Kecamatan Benjeng difungsikan sebagai tanah sawah, pekarangan/halaman, tegal/kebun, tempat permukiman dan usaha. Mata pencaharaian penduduk Kecamatan Benjeng sebagian besar adalah petani, dari jumlah penduduk yang bekerja, hampir 50% menjadi petani.
Nama kecamatan biasanya berasal dari nama salah satu desa, tapi yang menarik di kecamatan ini Benjeng sebenarnya bukan nama desa, tapi nama salah satu dusun/kampung di Desa Bulurejo. Desa Bulurejo menjadi Ibu Kota Kecamatan Benjeng. Pusat pemerintahan kecamatan, kantor Muspika, beberapa kantor dinas/instansi, dan pasar desa terletak di sepanjang Jalan Raya Benjeng yang masuk wilayah Desa Bulurejo.
Kata Benjeng, huruf e yang pertama dilafalkan seperti kata Elang dan huruf e yang terakhir diucapkan seperti kata Lonceng. Dan lidah orang Jawa atau orang Gresik mengucapkan Benjeng menjadi “MBENJENG”.
Sejarah asal-usul nama Benjeng
Versi 1
Benjeng adalah anak laki-laki dari Bupati yang sedang berkuasa saat itu. Ketika terjadi perang melawan penjajah, kerajaan berhasil dikalahkan dan dikuasai oleh Belanda. Kemudian Raden Benjeng mengasingkan diri ke wilayah ini, dimungkinkan beliau sedang menyusun kekuatan.
Tidak beberapa lama setelah kepindahan, di wilayah ini terjadi peperangan, yang buronan utama adalah Raden Benjeng putra Bupati yang dikhawatirkan akan merebut kembali pemerintahan. Karena bala tentara yang kurang dan persenjataan yang kalah modern, mengakibatkan kekalahan pihak putra bupati. Raden Benjeng meninggal dalam pertempuran terkena “dompes” (mesiu/peluru). Selanjutnya daerah ini dikenal luas dengan sebutan BENJENG.
Versi 2
Arti kata Benjeng, masyarakat di sini mendefinisikan berasal dari kata Jawa yaitu “benjeng atau bendjing”, yang artinya besok. Alkisah jaman dahulu orang-orang di tempat ini sering membuat janji, namun ketika waktu yang disepakati telah tiba dan ditagih, mereka sering menunda. Dengan berbagai alasan kemudian mereka selalu menjawab “mbenjeng” artinya besok. Sehingga orang-orang menyebut daerah/desa ini dengan benjeng (artinya besok), kemudian pengucapannya bergeser menjadi Benjeng seperti sekarang ini.
Versi 3
Masuk akal juga asal usul Benjeng dengan cerita di atas. Tapi saya pribadi mempunyai kisah menarik tentang asal usul kata Benjeng, cerita ini saya dapat dari kisah rakyat atau dongeng dahulu, namun cukup ilmiah juga apabila dihubungkan dengan kondisi wilayah, kondisi masyarakat dan kisah sejarah yang berkembang saat ini. Berikut ini cerita yang bisa saya rangkum.
Di jaman dahulu tempat ini selain dihuni warga pribumi, juga menjadi tempat tinggal bangsa pendatang yaitu Cina, dan konon katanya mereka berkembang cukup banyak. Masyarakatnya hidup dalam satu keluarga besar. Tempat tinggal satu keluarga dengan keluarga lainnya letaknya berjauhan, tidak terpusat seperti saat ini. Bangsa pendatang ini membuat rumah tempat tinggal di wilayah baru di sepanjang dusun Benjeng hingga ke Dusun Munggugianti yang sekarang menjadi jalan arteri kabupaten. Hal ini dibuktikan di kedua tempat ini (Munggugianti dan Benjeng Bulurejo) dahulu masih terdapat warga keturunan Cina.
Masyarakat di sekitar wilayah ini mengenal nama desa yang dihuni banyak bangsa Cina tersebut dengan sebutan BENJENG. Asal kata Benjeng mirip dengan kata Beijing, ibu kota RRC, bisa jadi orang-orang Cina yang hidup di desa ini ingin membawa kebesaran ibu kota negaranya di desa ini. Mereka berkeingan menjadikan Benjeng sebagai Kota Raya dari wilayah di sekitarnya. Dalam bahasa Cina, kata Benjeng mungkin mempunyai makna tersendiri. Dan kemungkinan lainnya, Benjeng berasal dari salah nama seseorang atau marga keluarga yang berpengaruh pada saat itu.
Menurut cerita yang saya dapat, Benjeng sendiri adalah pemukiman yang baru muncul, bukan pemukiman lama seperti desa-desa yang ada disekitarnya. Karena di daerah ini tidak ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi tempat pemujaan dan sebagainya seperti desa-desa sebelahnya.
Walaupun Benjeng identik dengan nama Cina, namun saat ini mungkin tidak akan pernah berjumpa dengan warga Cina, karena memang cina keturunan yang masih bertempat tinggal di sini sangat jarang. Yang saya tahu, saat ini tidak lebih dari 5 keluarga besar yang masih tinggal dan beranak cucu di Kecamatan Benjeng. Katanya, dahulu banyak yang pindah terutama ke wilayah Kecamatan Balongpanggang karena peluang bisnis di sana lebih menjanjikan

PRASASTI BILULUK DI LAMONGAN

Prasasti Biluluk, prasasti ini dikeluarkan antara tahun 1288-1317 Saka (1366-1397 M) ditemukan di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan berupa tulisan yang digoreskan pada lempengan tembaga. Prasasti itu berasal dari masa Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan Wikramawardhana (1389-1429 M). Prasasti itu merupakan surat yang berisi titah raja yang ditujukan keluarga raja yang memerintah di Biluluk dan Tenggulunan. Berdasarkan penafsiran oleh Tim Peneliti buku Sejarah Sunan Drajat disebutkan bahwa Bluluk pada saai ini memang masuk kawasan Lamongan, sedangkan Tenggulunan kemungkinan sekarang masuk kawasan Kecamatan Solokuro. Tenggulunan dimungkinkan juga masuk kawasan Gresik, tepatnya berada di muara Sungai Lamong. (Tim Peneliti, 1998: 72). Tenggulunan di kawasan Gresik dimungkinkan terkait dengan prasasti tersebut, karena sungai Lamong merupakan salah satu jalur perdagangan yang menghubungkan antara pelabuhan Gresik dengan wilayah kekuasaan Majapahit. Adapun kandungan isi dari prasasti Biluluk dapat disimpilkan antara lain:
Orang-orang Biluluk diberi wewenang untuk menimbah air garam pada saat acara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dahulu, asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan dikenakan cukai.
Rakyat Biluluk dan Tenggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan, yakni akan menderita kecelakaan, antara lain: apabila mereka di padang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka, dan mati.
Memberi kebebasan pada rakyat Biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan, seperti berdagang, membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, membuat tepung, gula aren, atau tebu, dan membakar kapur tanpa dipungut beaya.
Status daerah perdikan Biluluk dan Tenggulunan ditingkatkan dari daerah sima menjadi daerah swatantra. Sebagai daerah swatantra atau daerah yang bisa mengurusi rumah tangganya sendiri, rakyatnya dicintai raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan serta bekal pada petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai, kapulaga, besi, kuali besi, rotan, dan kapas.
Petunjuk bahwa daerah Biluluk dan Tenggulunan diberi status swatantra agar tidak lagi dikuasai Sang Katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan, dan ketentraman.
Kegiatan perekonomian di Kerajaan Majapahit umumnya, di Biluluk dan Tenggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk setempat. Barang-barang dagangan di dua daerah ini yang menonjol antara lain: garam, gula kelapa atau aren, dan dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan termasuk barang dagangan yang mahal. Bagi rakyat Biluluk dan Tenggulunan, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di dua daerah ini adalah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan makan-makanan dari tepung umbi atau kentang.